Heartbreaker (Justin Bieber Fanfiction)



Title: Heartbreaker
Genre: Romance
Length: Fiveshoot
Inspiration: Heartbreaker song, an images of words, American Pie 6 Beta House and Project X films.
Cast: Justin Bieber as him self and Lindsay Ellingson as Kristen Fletcher.
Warning: there are some adult scene, semi porn. Its better if you’re above 18 years.
p.s: Do not copast without permission. Don’t copycat every inch of this story. Make your own style. Aprreciate Author
Backsound:
Eminem - White Trash Party

Kid Cudi - Pursuit of Happiness
J-Kwon – Tipsy
Lil John ft. LMFAO - Get Outta Your Mind
A - Trak (ft. Donnis, Pill, Danny Brown & CyHi DaPrunce) - Ray Band Vision (Remix)
Justin Bieber - Hold Tight
Justin Bieber - Heartbreaker

  



Happy reading.

            Justin Bieber. Nama pria itu sudah tidak asing di telinga para mahasiswa di kampusnya −bahkan hingga ke kampus lain−. Playboy dengan tingkat ketampanan selangit,  uang berlimpah memenuhi tiap kantong dalam dompetnya, suara seksi yang membuat siapapun meleleh mendengarnya, lekukan otot yang kokoh, senyum yang begitu menawan, tatapan mata membunuh, sampai aroma maskulin parfumnya yang membuat gadis manapun seolah kehabisan nafasnya. Sempurna. Satu kata yang sudah secara keseluruhan mewakili gambaran dirinya. Sangat beruntung terlahir sebagai pria terkenal yang dengan mudah begitu memikat banyak gadis dengan segala hal yang sangat -sangat menunjang dirinya. Tidak ada hal yang kurang dalam dirinya. Nyaris, tak ada yang tak bisa diraihnya. Namun satu hal yang tidak di ketahui semua orang. Tak ada satu gadis pun yang mampu meraih hatinya, mencairkan kebekuan di dalam sana. Atau mungkin lebih tepatnya, belum.
            
  Sekumpulan gadis borju, duduk santai mengelilingi meja dengan payung yang berdiri di tengah-tengah, merudungi meja mereka dari sinar sang mentari. Mereka menikmati terik matahari yang membakar kulit mereka sambil mengobrol di balik mata mereka yang tertutup oleh kacamata hitam. Fashion terbaru, teman kampus mereka, hingga topik yang kini mengarungi perbincangan mereka adalah teman kampus sepupunya. Justin Bieber. Pria itu benar-benar begitu tersohor. Beberapa di antara mereka sudah pernah melihat dan bertemu Justin. Dan mereka mengakui bahwa pria itu nyaris tidak memiliki cacat cela. Tattoo-tattoo dalam tubuh pria itu justru makin membuatnya jauh lebih mempesona.
                “Kris, apa kau tidak tertarik pada Justin?” Olivia meliriknya sambil membenahi duduknya kemudian mengambil gelas orange juicenya. Yang lain rupanya mulai menyimak ucapan Olivia tadi. Terlihat dari mereka yang mulai menatap ke arah Kristen, seolah menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu.
                “Aku sedang memikirkan sesuatu, sebenarnya.” Jawab Kristen santai. Otak gadis itu memang sedang berkelabat memikirkan sesuatu yang mulai terancang. Ia mengangkat jemarinya, dan memandangi kuku-kukunya yang baru selesai di kikir untuk merapikan tepiannya. Sekarang, kukunya terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
                “Apa itu?” Nora menyahut sambil membuka kacamata.
                “Kalian akan tahu nanti. Just wait and see.” Kristen memincingkan senyumnya.
                “Apapun yang kau pikirkan, ada satu juta kemungkinan kau bisa jatuh cinta pada pria itu, Kris.” Sahut Mary memandang serius Kristen. Tentu saja serius. Dia sangat amat mengenal watak Kristen. Well, gadis itu memang memiliki sederet nama pria. Tentu mereka bergelar sebagai ex boyfriend-nya Kristen. Tapi bukan itu masalahnya. Dalam kamus Krsiten, tidak ada tempat untuk seorang playboy. Bahkan gadis itu sama sekali tidak tertarik pada playboy. Ntah ada angin apa mendadak dia jadi tertarik pada Justin. Ya ampun. Semoga ini bukan apa-apa. Kalau sampai Kristen jatuh cinta pada Justin, gadis itu harus membayar segala ucapannya. Tentu saja itu harus karena dia sudah mengingkari kata-katanya sendiri.
                “Tidak akan, Mary. Kalau sampai akhirnya aku jatuh cinta pada Justin, kita terbang ke Miami dengan semua keperluan kalian yang aku tanggung.” Jawab Kristen dengan mantap. Sangat yakin. Tak ada keraguan sedikitpun.
                Begitu mendengar ucapan Kristen tadi, Olivia buru-buru membenahi posisi duduknya yang malas menjadi tegap dan membuka kacamatanya kasar dan cepat. “are you serious ?” tanyanya langsung excited sambil membulatkan matanya.
                Kristen mengangguk mantap. “Yep. Dengan hotel terbaik di Miami.” Imbuhnya lagi. Tanpa ada keraguan sedikitpun.
                “Well, kalau begitu aku sangat berharap kau jatuh cinta pada Justin.” Tukas Olivia yakin sambil kembali bersandar pada punggung kursi dia tersenyum senang. Tentu saja dia berharap itu terjadi. Siapa yang tidak mau liburan ke Miami gratis?! Ya ampun. Mungkin ini akan terjadi padanya satu kali seumur hidup. Well, meski orangtuanya mampu membiayai semua itu, tapi bayangkan berapa juta dollar yang akan di hamburkan Olivia untuk perjalanan ke Miami ? Jumlah uang itu akan jauh lebih baik di putar sebagai keperluan belanjanya. Sangat-sangat menguntungkan, bukan?
                “Aku setuju.” Timpal Nora.
                Kristen mendengus. “come on, girls.” Gadis berambut hitam itu memutar bola matanya.
                “Cepat atau lambat, aku percaya kau akan terkena sengatan mempesona dari seorang Justin Bieber.”

***
             Pasang-pasang mata yang berada di sepanjang koridor menatap lekat seorang gadis yang berjalan melewati tempat itu. Gadis itu bahkan sama sekali tidak terusik dengan banyanyak orang yang memperhatikannya. Dia tetap melangkah menuju tempat tujuannya. Langkah kakinya yang terbalut high heels tetap tak berhenti setelah melewati koridor, bahkan hingga lorong kampus. Makin banyak yang memperhatikannya. Mereka bingung, siapa gadis ini? Benar-benar asing. Wajahnya sama sekali belum pernah tampak di manapun di penjuru kampus. Gadis itu berhenti tepat saat memasuki daerah kantin kampus. Matanya berpendar hingga ke sudut-sudut ke kantin seperti  sedang mencari sesuatu. Hingga manik matanya kemudian terpaku pada satu sosok. Dia sudah menangkap apa yang di carinya. Gadis itu tersenyum tipis. Kemudian kembali melangkah menghampiri targetnya.
                Seorang gadis berdiri tepat di depan meja mereka. Membuat perhatian mereka yang tadinya tengah bercanda menjadi teralih pada gadis ini. Gadis itu menatap teman mereka, Justin −lekat-lekat−. Kemudian tersenyum manis. Well, harus diakui gadis ini memiliki tingkat kecantikan di atas rata-rata. Selain senyumnya yang menawan, tubuhnya juga ramping, dan dia terlihat fashionable. Terlihat dari cat kukunya, pakaian yang dikenakan, sampai tas yang ditentengnya. Semua berlabel asli original. Gadis ini sepertinya memang sophaholic. Atau memang sangat-sangat memperhatikan penampilan. Bisa dipastikan dia penghuni tetap salon.
                Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan senyuman yang tetap bertahan pada wajahnya yang cantik.“I heard you’re a player. So, let’s play a game.” Ada jeda sebentar setelah dia mengatakan itu. Sementara Justin masih terlihat bingung tidak mengerti. “Let’s sweet talk, let’s play fight, let’s talk 24/7, let’s tell each other good morning and good night every day, let’s take walks together, let’s give each other nicknames, let’s hang out with each other’s friends, let’s go on dates, let’s talk on the phone all night long, let’s hold each other, let’s kiss and hug. And whoever fall in love first? LOSES.” Lanjutnya tanpa berpaling sedikitpun ke arah lain. Bola matanya sempurna menatap Justin intens tanpa berkedip sedikitpun. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar mantap, dan terdengar menantang. Senyum kecil kembali terembang di bibirnya. Gadis ini suka tersenyum rupanya.


Justin Bieber Point of View

                Kusipitkan mataku, menatapnya lekat-lekat. Makhluk apa sebenarnya yang ada di depanku ini? Dan apa itu barusan? Tantangan? Oh, come on. Justin Bieber tak pernah takut pada tantangan. Gadis di depanku tersenyum setelah selesai mencecar kalimatnya. Senyum yang sulit diartikan. Aku bangkit dan melangkah hingga berdiri di depan wajahnya dengan jarak beberapa senti. Tatapan kami saling mengunci satu sama lain, enggan melepaskan sedikitpun. Aku lantas tersenyum padanya. “Let’s play a game.” Aku menerima tantangannya dengan berbisik di daun telinganya. Aku kembali menatap raut wajahnya. Cantik dengan kesan elegan. Cukup menggoda di awal pertemuan. Aku mengerling padanya sebagai tanda bahwa aku tertarik pada permainannya.
                Gadis yang belum ku ketahui namanya itu kemudian berpaling menatap ke sisi wajahku, dan mengambil bolpoin yang terselip di daun telingaku. Dia membuka tutup bolpoin itu, kemudian mengambil sebelah tanganku. Membuka telapak tanganku dan menulis sesuatu di sana. Hey, apa yang di lakukannya? Sial. Aku melihat telapak tanganku. Oh, nomor ponselnya rupanya. Well, cara yang unik. Gadis itu kemudian berbalik mulai berjalan menjauhi mejaku. Hell. Begitu saja? Tanpa perkenalan? Tanpa nama? “Wait. Siapa namamu ?” Teriakku sambil tanganku bergerak menahannya. Aku belum tahu namanya! Yang benar saja.

Author Point of View

                Gadis itu berbalik berjalan di atas high heels-nya yang runcing menghampiri Justin. Tangannya menarik kepala Justin, dan langsung melumat bibir seksi milik don juan kampus itu. Sontak seisi kantin bergumam kaget. Justin yang awalnya terkejut, kini mulai bergerak memindahkan tangannya meremas bokong gadis yang secara terang-terangan menciumnya itu. Baru saja satu remasan, dan gadis itu melepas ciumannya.“Kristen.” Jawabnya singkat lalu kembali berbalik dan berjalan keluar. Dia berjalan begitu santai, seolah apa yang dilakukannya bukanlah apa-apa. Seolah tak ada apapun yang sedang terjadi di sana. Gila. Siapa gadis ini?
                Justin masih terpaku berdiri menatap punggung Kristen yang semakin lama semakin menjauh, dan kemudian hilang di balik koridor. Baru kali ini ada yang berani menantang seorang Justin Bieber. Sial. Bukan hanya itu saja, dia bahkan memakai cara yang benar-benar unik dan begitu berbeda. Tapi sepertinya gadis itu sudah berhasil. Dia berhasil menarik perhatian Justin, dan membuat pria itu tidak bisa berhenti memikirkannya. Tentu saja tidak bisa berhenti. Dia sama sekali tidak mengenal gadis itu. Dan gadis itu sudah membuatnya penasaran, ingin mengetahui lebih banyak tentangnya. Apalagi ciumannya tadi. Shit. So damn true! Dia benar-benar tahu caranya bermain. Justin hanya tertunduk memandangi telapak tangannya yang berisi nomor telepon gadis itu lantas kembali duduk. Justin merogoh ponsel dalam sakunya kemudian menyalin kontak gadis itu.
                “Siapa dia sebenarnya?” Niall menatap kearah tempat gadis itu pergi kemudian menoleh ke arah Justin. Reaksinya juga sama terkejutnya, dan sama penasarannya seperti seisi kampus yang lain. Terlebih Justin. Justin hanya menggeleng pelan.
                “Aku juga tak tahu, man. Tapi aku akan segera mencari tahu.” Justin memincingkan senyumnya.

***

                Kristen bersorak dalam hatinya. Justin menerima permainannya. Good. Sekarang hanya tinggal menunggu kapan pria itu akan meneleponnya. Sangat jelas diakuinya kalau Justin memang punya pesona yang sulit di kalahkan. Bahkan kristen sendiri hampir terkena sengatannya. Sial. Gadis itu sepertinya memang harus membentengi diri kuat-kuat. Kakinya yang jenjang dan semulus porselen masuk ke dalam mobil sport-nya lalu melajukannya meninggalkan kampus tempat Justin menempa ilmunya.
                Mobilnya berhenti di depan garis marka karena lampu lalu lintas baru saja berpindah menjadi merah. Sembari menunggu sampai lampu berganti hijau, Kristen mengirimkan pesan kepada sahabat-sahabatnya.

                To: Nora; Mary; Olivia
                Target in a trap ;)

                Kristen kembali meletakkan ponselnya, dan menghabiskan sisa detik-detik menunggunya dengan menatap jalan tanpa beban sambil mengetuk-ngetukkan jemariya pada roda kemudi. Setelah lampu bergulir ke bawah menjadi hijau, ia memindah persnelingnya dan menginjak pedal gas nya hingga menuju rumah megahnya.
                Kristen turun dari dalam mobilnya sambil melirik pada tangan kirinya, tempat jam tangannya dililit di sana. 04:34pm. Ia masuk ke dalam rumahnya, dan langsung ke kamarnya tanpa menghiraukan adiknya yang memanggil-manggilnya. Gadis itu baru saja merebahkan dirinya di ranjang king-nya, sampai sebuah panggilan mengganggu kegiatannya. Sebuah nomor tak dikenal. Bibirnya langsung menarik satu garis senyuman. Otaknya secara otomatis langsung dapat menerka bahwa itu adalah Justin. Kristen punya semua kontak yang ia butuhkan. Tapi tidak dengan Justin. Jadi, dia bisa memastikan bahwa itu adalah Justin. Jemarinya mengetuk layar ponselnya sekali, lalu meletakkannya pada telinganya. “Kristen here.”
                “Hai.
                “Justin, right?” Kristen menggigit bibir bawahnya yang pink dan menarik sedikit senyuman.
                “I’m outside your house.” Matanya membelalak terkejut. Kristen langsung melompat turun dari ranjangnya, dan membuka jendela yang menghadap ke depan rumah. Begitu jendelanya terbuka, matanya bisa menangkap sosok lelaki tampan yang tersenyum memandang ke arahnya. Sebelah tangannya yang tak memegang ponsel melambai ke atas, yang dibalas juga dengan lambaian kecil dari Kristen. “Tidak mempersilahkanku masuk, eh?”
                Kristen terkekeh sambil memerhatikan dari atas sini. Dia terlihat semakin cantik jika tertawa seperti itu. Begitu mempesona. Sejenak Justin merasakan jantungnya sedikit berdebar. Gadis itu lantas bergegas berlari kecil keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga rumahnya, dan menuju ke pintu depan dan membukanya dengan semangat. Belum pernah dia menemukan lelaki seperti Justin. Mereka menggunakan cara yang unik dan benar-benar berbeda untuk berkenalan. Dan ada satu pertanyaan di dalam otaknya. Bagaimana bisa Justin tahu rumahku?
                Tangannya membuka salah satu dari dua pintu ganda rumahnya. “Come in.” Kepalanya bergerak seperti memberi tanda ‘ayo’.  Justin tersenyum dan melangkah melewati pintu yang telah dibukakan Kristen untuknya. Setelah Justin masuk, Kristen menutup pintunya, dan menuntun Justin menuju tempat yang tepat untuk mereka berbincang. Mereka melewati ruang keluarga, menembus dapur, dan sampai pada sebuah pintu yang menuju halaman belakang rumahnya. Kristen membukanya, dan membiarkan Justin melangkah terlebih dahulu dibanding dirinya. Ia lalu duduk pada sebuah kursi santai di dekat kolam renang. “Aku ambil minum sebentar.” Ujarnya sambil masuk kembali ke dalam rumahnya.
                Beberapa menit membuat minuman, ia kembali dengan dua gelas berisi sirup jeruk segar ditangannya. Ia duduk di kursi santai lainnya yang berada di sebelah Justin, dan meletakkan minuman mereka pada sebuah meja kayu yang pendek yang berada di antara dua kursi santai itu. “So?” Kristen melepaskan pertanyaannya dengan menatap Justin penuh ketertarikan.
                Justin menghembuskan nafasnya ringan. “Kita belum selesai.” Ujarnya lalu tersenyum lagi. Kristen menatapnya bingung. “What’s that?”
                “Kita belum menentukan apa hadiah bagi pemenang, dan bagaimana dengan yang kalah.”
                Kristen langsung menampilkan wajah mengerti. “Okay.”
                “Kau yang tentukan, karena  kau yang mengajakku.”
                Kristen memasang senyumnya lagi. “Fine. Yang kalah, harus mengakui kalau dia sudah jatuh cinta. Lalu pemenang berhak menentukan pilihannya. Bagaimana?”
                Justin mengedikkan bahunya. “It’s okay.”
                Kristen mengulurkan tangannya, minta dijabat. Tangan bertato milik Justin menjabatnya, lalu Justin berseru “Deal.” Sambil tersenyum dan menatap ke dalam mata Kristen dengan Intens.
                Beberapa detik berlalu dalam kebisuan karena keduanya sama-sama mengunci tatapan mereka. Lalu Justin berkedip, membuat mereka buyar. Tangan mereka terlepas begitu juga dengan tatapan mereka. Justin tersenyum sambil memandang  Kristen yang mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatkan tubuhnya pada tubuh Justin. “Be careful with me.” bisiknya Kristen. Dua kata dalam bisikan itu rupanya mampu sedikit membangkitkan hormon Justin. Darahnya mendesir.
                “Apa ada orang lain disini?” Justin mengambil gelasnya, lalu menyesap minumannya.
                “Ada adikku dan seorang nanny yang mengurusnya di dalam. Kenapa?”
                Justin kembali meletakkan gelasnya, lalu kepalanya menoleh ke kiri-kanan, seperti orang yang tengah memastikan kondisi aman, jadi dia bisa bertindak sesuatu. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua saat Justin menoleh ke segala arah yang bisa dijangkau pandangannya. Ia lalu kembali memandang Kristen yang tampak bingung, meraih kepalanya, dan tanpa permisi melumat bibir pink yang sudah sedari tadi begitu menggodanya. Kristen terkejut selama sepernano detik sebelum tersadar dengan yang terjadi. Dia memejamkan matanya, balas melumat Justin. Bulu matanya yang lentik tampak indah. Bibir bawahnya berada dalam apitan bibir Justin, sementara bibir atasnya mengapit bibir atas Justin. Mereka saling melumat, menggerakkan bibir mereka dengan sensual, dengan saling meresapi sengat-sengat ringan yang mengaliri tubuh mereka.
                Lidah Justin melesak masuk, memainkan lidahnya dengan lidah Kristen. Mereka beradu lidah, bergantian mengisap, hingga sekeliling bibir mereka basah oleh air liur mereka sendiri. Keduanya tak peduli sama sekali bahwa dagu mereka kini basah, dengan kenyataan air liur mereka sudah sampai kemana-mana. Menit-menit berlalu, dan mereka sama sekali belum melepaskan satu sama lain. Suara pintu terbuka membuat mereka tersadar dan langsung melepaskan ciuman mereka. “Oh, please, Kristen. Aku tak peduli dengan apa yang kau lakukan. Tapi ingatlah kalau kau punya adik. Sebaiknya kalian pindah ke kamar, ke hotel, atau manapun.” Keduanya memandang ke pintu, dan menemukan nanny adik Kristen berdiri dengan masih memegang knop pintu. Tangan lainnya menggandeng adik Kristen yang masih balita.
                “Jangan pedulikan dia.” Kristen bergumam kecil pada Justin tanpa memalingkan pandangannya dari nanny adiknya tersebut. “Just shut up, Maria. Jangan sok mengajariku.” Gadis itu bangkit berdiri dan mengacuhkan seorang gadis yang berdiri di depan pintu masuk menatapnya dengan jengah. Dia mengulurkan tangannya menawarkan tangannya untuk digandeng. “Come on, kita pindah.” Justin menerima uluran tangan itu, dan mereka bergandengan berjalan ke arah pintu. “Move, bitch.” Kristen kembali berujar dengan benci pada nanny adiknya. Tak hanya sekedar ucapan. Pandangannya pun menatap oenuh kebencian. Mereka remi keluar dari halaman belakang rumah Kristen setelah melewati pintu yang awalnya terhadang oleh tubuh Maria.
                Lelaki itu membiarkan tangannya terus digandeng oleh gadis yang belum sampai dikenalnya selama dua puluh empat jam. Mereka menaiki anak tangga yang lebarnya bahkan bisa dilalui oleh tiga orang sekaligus secara bersamaan. Kristen rupanya membawanya masuk ke dalam kamar gadis itu. Otaknya langsung secara penuh terisi oleh pikiran-pikiran kotor. Kristen menutup pintu kamarnya, dan kakinya yang terbalu sneakers melangkah mendekati ranjang lalu duduk di tepi. Kristen membanting tubuhnya di atas ranjangnya sambil menghela nafasnya. “Dia nanny adikku. Kami tidak cukup akrab. Saling benci, malah.”
                Justin mengangguk sambil memandang Kristen yang tengah menatap langit-langit kamarnya. “Aku tahu. Aku merasakannya juga. Saat orang asing tinggal di dalam rumahmu, dan dia dapat kepercayaan dari orang tuamu, dan dia bersikap begitu menyebalkan.” Lelaki itu perlahan berubah, ikut merebahkan diri di sebelah Kristen.
                Kristen menoleh. “Kau juga? Oh, ya ampun. Kita senasib.”
                Justin hanya mengangkat kedua alisnya, dan ekspresinya berkata ‘ya-begitu-deh’. Tangannya bergerak mengusap paha mulus Kristen yang terlihat. Dress nya sedikit tersingkap sehingga pahanya yang tanpa cacat itu tampak. “You know what, you. are. such. a good kisser. Bagaimana kalau kita –“
                Kristen bangkit, berposisi duduk membuat dressnya yang tersingkap kembali jatuh turun menutupi pahanya. Justin, mau tak mau menyingkirkan tangannya. Kristen turun dari ranjangnya, lalu berjalan menuju lemari pakaian yang letaknya ada di sudut kamarnya, dekat pintu kamar mandi. Justin bangkit dari tidurnya, dan mengamati Kristen. Gadis itu memunggunginya, membuka pintu ganda lemari pakaiannya, lalu dia melepas dressnya tanpa peduli ada Justin di belakangnya yang sedang memerhatikannya. “Bagaimana dengan makan malam?” tanyanya sambil matanya bergerak menyusuri pakaian-pakaiannya.
                Justin menatap punggung Kristen lapar. Sial. Gadis itu punya lekuk tubuh yang sempurna seksi. Ramping dengan bokong yang padat yang tertutup celana dalam warna pink. Mata Justin naik, melihat branya yang berwarna senada dengan celana dalamnya. Lelaki itu bisa memperkirakan berapa ukura bra Kristen hanya dengan melihatnya. Dia bahkan bisa membayangkan kedua payudara kencang Kristen yang begitu menjulang indah terbungkus dibalik bra itu. Uh, pikiran kotornya benar-benar sedang memabukkannya. Ia bisa merasakan hormonnya bekerja gila-gilaan sekarang. Membuat miliknya mulai mengeras. “Err.. Okay.” Jawabnya asal. Ia masih menatap tubuh itu tanpa berkedip. Ia melihat satu tato bergambar bulu angsa berada di sebelah tali branya, dekat dengan ketiaknya. Gadis ini benar-benar seksi. Damn it. Umpatnya.
                “Kau yang traktir, okay?” Tangan Kristen menarik satu you can see bermotif strip berwarna biru-putih yang bagian lengannya agak longgar hingga jika dilihat dari samping, akan menampakkan branya. Setelah memakainya, ia mengambil satu hot pants berbaha jins dan langsung memakainya. Ia memutar tubuhnya berbalik menghadap Justin sambil mengancingkan celananya dan menarik resletingnya sampai ke atas.
                Justin mengumpat lagi dalam hatinya. Sedikit kesal kenapa Kristen harus cepat memakai pakaiannya kembali. “Okay.” Ia menukas asal saja. Tentu saja bagi seorang Justin uang bukanlah sebuah hal yang perlu diperhitungkan karena hidupnya sedikitpun takkan pernah merasakan yang namanya kekurangan. Jadi, itu bukanlah masalah besar. Justru masalahnya adalah, bagaimana dia bisa keluar dan menepis pikiran-pikiran kotornya sekarang. Ini sulit.
Kristen menceritakan pada sahabat-sahabatnya bagaimana ia memulai permainannya, bagaimana ciuman mereka, bagaimana Justin bisa tiba-tiba berada di depan rumahnya, sampai bagaimana makan malam mereka semalam. Mary, Nora, dan Olivia mendengarkannya dengan serius. Karena secuil apapun informasi yang menyangkur permainan Kristen pasti terdengar menarik dan tak akan membosankan. “Damn you, Kristen!” Mary menukas penuh kagum begitu Kristen selesai bercerita. Gadis itu tak percaya bahwa sahabatnya bisa segila ini. Okay, mereka berempat memang gila. Sangat gila, malah. Tapi dia sama sekali tak menyangka bahwa Kristen akan sejauh ini. Mereka memang suka menggoda dengan kemolekan tubuh mereka, dan sama-sama tahu seberapa besar kenikmatan melakukan sebuah hubungan badan. Mereka juga sama-sama suka melakukan eksperimen atau sesuatu yang baru saat mereka berhubungan dengan laki-laki. Tapi, Kristen adalah yang paling simple di antara mereka berempat dalam hal sex. Dan sekarang? Oh, man! Kristen menggoda Justin dengan sex! Dengan ciuman, dengan memamerkan tubuhnya.
                Kristen hanya bisa tertawa kecil merespon Mary. Ia sudah menduga pasti teman-temannya akan terkejut jika tahu apa yang dilakukannya. Dan benar saja. “Kau terlihat begitu senang, Kris.” Nora menyahut sambil melepaskan permen lolipopnya dari dalam isapan mulutnya.
                “Tentu saja, rencanaku berjalan lancar.” Kristen menjawab senang, dengan semangat.
                “Bukan, bukan itu maksudku. Kau seperti seorang gadis yang senang karena berhasil mendekati lelaki yang disukainya.” Nora tampak sedikit hati-hati meluruskan kata-katanya.
                “Benarkah? Well –“ Kristen merangkul Nora. Tangannya yang halus kini berada di bahu sahabatnya. “− Kuakui, aku menyukainya. Tapi, aku hanya sebatas menyukai ciumannya yang memabukkan, dan menyukainya karena ia tampan. Tidak lebih dari itu.”
                “Kau akan segera jatuh cinta padanya, aku yakin.” Timpal Olivia. Nora mengambil tangan Kristen, dan melepaskannya dari bahunya. Sementara Kristen tak memedulikannya, dan berfokus pada Olivia. Mereka masih berjalan hampir mencapai luar gedung kampus.
                “Who knows? Secepatnya, dia akan kubuat jatuh cinta padaku.” Kristen tersenyum pada sahabat-sahabatnya yang hanya bisa diam karena tak tahu harus berkata apa. Ponselnya baru saja bergetar, dan terpampang bahwa ada satu pesan masuk. Langsung saja jarinya yang jenjang, terbalut satu cincin emas putih di jari manisnya yang terpoles cat kuku bergeak membuka isi pesan.

                From: Justin
                Masih ada kelas?

                “See?” Kristen menunjukkan isi pesan Justin bergantian pada temannya sambil tersenyum puas. “Dalam sekejap dia sudah ada dalam genggamanku.” Imbuhnya lagi tampak bangga.
                “Hati-hati, kris. Kau bisa yang jatuh pada perangkapmu sendiri. Aku khawatir.” Nora sedikit meremas pundaknya, memperingatkan. Gadis itu tak mau kalau sahabatnya jadi korban Justin. Dan tak mau juga kalau Justin jadi korban sahabatnya. Karena pada dasarnya, dulu, Nora pernah menjadi salah satu dari mantan Justin. Namun itu dulu, sebelum mereka berempat bersama. Dan tak ada yang tahu kalau Nora pernah jadi bagian dari masa lalu Justin.
                “Tenanglah, Nora.” Kristen tersenyum pada sahabatnya. “Ini bukan apa-apa. Kalaupun terjadi, aku akan mengakuinya pada kalian. Okay?” Kristen berbalik pada ponselnya, dan membalas pesan Justin.

                To: Justin
                Nope
               
                “Hei, bagaimana jika sore ini dengan milkshake? Aku yang traktir.” Kristen mengalihkan pembicaraan dengan ceria, mengajak teman-temannya pergi ke cafetaria kampus. Mereka bisa mendapatkan milkshake enak di sana. Tangannya membuka pintu gedung, dan membawa dirinya yang paling pertama keluar. Teman-temannya yang lain dibelakangnya, bergantian memegang pintu masuk gedung itu supaya terjaga tetap terbuka sampai Mary yang paling terakhir menutupnya.
                Hal mengejutkan terjadi lagi. Manik mata Kristen yang begitu indah, menangkap sosok pria yang baru saja jadi bahan perbincangannya dan sahabat-sahabatnya. “Justin?!” Gadis itu tampak terkejut tak percaya. Sahabat-sahabatnya juga langsung menoleh pada sosok lelaki yang berdiri bersandar pada pintu mobil sport. Lelaki itu begitu seksi, rupawan, dan sempurna. Ia mengenakan v-neck putih dan jas semi-formal warna dark blue. Dibalut skinny jeans dan sneakers, dia benar-benar seorang Justin Bieber yang terkenal dengan style casualnya. Senyum maut terpasang di wajahnya yang tampan.
                Empat gadis yang begitu sederajat hampir dalam semua hal, berjalan menghampiri satu sosok yang sudah menarik perhatian mereka karena salah satu dari ke-empat gadis itu memanggilnya. Tapi, gadis dengan mini skirt dan kemeja yang yang bagian dadanya tak dikancing-lah yang berdiri paling depan. “Sedang apa kau disini?” tanyanya heran.
                “Hai, Nora.” Justin sejenak mengalihkan pembicaraan, dan menatap Nora sambil tersenyum. Lalu dia berpaling pada Kristen dan menjawab. “Menunggumu, tentu saja.”
                Dahi Kristen berkerut. “Kau kenal Nora?” ia menatap Justin dan Nora secara bergantian. Mary dan Olivia juga ikut melakukan hal yang sama karena mereka juga terkejut. Nora sendiri justru malah tampak canggung.
                “Kami teman SMA dulu.” Nora buru-buru menyahut sebelum Justin menjawab dengan jawaban yang mungkin saja tidak diinginkan Kristen. Sahabatnya itu langsung mengangguk mengerti meski masih terlihat penasaran.
                “Bagaimana dengan satu kencan di sore hari?” Lagi, dengan cara yang berbeda. Apakah normal seorang lelaki menawarkan kencan dan bukannya mengajak? Hell.
                Kristen terlihat menimbang-nimbang keputusannya sebelum ia yakin untuk mengangguk menerima ajakan Justin. “Well, guys, kupikir ajakanku harus kutunda.” Tubuhnya berputar berbalik pada sahabat-sahabatnya.
                “It’s okay, Kris.”
                “Bye.” Justin membukakan pintu tempat duduk di sebelah kemudi, mempersilahkan Kristen untuk masuk. Setelah tubuhnya sempurna duduk dengan nyaman di dalam jok kulit hitam yang mahal, Justin menutup pintunya. Mereka pergi meninggalkan kampus, dan memulai kencan mereka.
                Justin membawanya menuju ke sebuah pelabuhan di tepi pantai. Sebuah kapal pesiar kecil ada disana. Mereka menghabiskan sore mereka dengan berada ada di atas kapal pesiar itu. Dengan angin yang mengibarkan rambut mereka, berdiri di ujung kapan, merasakan hembusan angin dan suara deru ombak yang terasa bagai melodi menyusup ke telinga. Kristen tak bisa menahan diri untuk tidak terkejut. Belum pernah ada seorang lelaki yang membawanya pergi dengan kapal pesiar seperti yang Justin lakukan. Dia bilang kapal pesiar ini milik orang tuanya, dan baisa digunakan untuk liburan keluarga. Tapi kali ini, Justin menggunakannya untuk kencan mereka. Hal baru juga bagi Justin, karena inilah kali pertama dia membawa gadisnya naik ke kapal pesiar keluarga. Selama ini, Justin hanya menuntut kebutuhan pemuasan dirinya saja. Dia tak pernah menggunakan perasaannya. Tapi kali ini, perasaannya seperti terseret dalam permainan ini. Seperti ombak.
                Ini baru hari kedua, dan keduanya sama-sama semakin tertarik lebih jauh lagi. Justin menunjukkan sisi −yang entah bagaimana cara kerjanya− ketertartikannya pada Kristen. Perhatian yang begitu lembut, yang bahkan mampu meluluhkan Kristen yang begitu memiliki prinsip bahwa tidak akan pernah ada tempat untuk seorang playboy. Tapi nyatanya, disinilah mereka sekarang. Dibawah cakrawala yang berwarna jingga saling berpelukan penuh rasa yang sulit terkatakan.
                Dan hari terus berganti, terus begulir dari senin menuju minggu, sampai senin kembali bertemu minggu. Angka dalam hitungan kalender terus merangkak menuju akhir bulan, dan hari-hari begitu berlalu penuh keindahan bagi keduanya. Justin dan Kristen seperti pasangan paling serasi dan cocok yang pernah ada di muka bumi yang pernah dilihat orang-orang. Mereka begitu manis, penuh perhatian, penuh kasih, mesra, dan menggemaskan, membuat iri bagi pasangan lainnya. Mereka seperti hal yang tiada tandingannya. Sayangnya, bahwa semua ini hanyalah permainan untuk seorang Kristen. Meski rasanya hatinya seperti mengkhianatinya, dia tetap pada pendiriannya. Sementara Justin sendiri, hampir melupakan bahwa ini adalah sebuah permainan. Ia lebih menganggap ini sebagai pendekatan dalam perasaannya yang serius memendam cinta pada Kristen. Perasaan yang sebelumnya pernah ia rasakan selama menyandang gelar don juan dan sejak dirinya berganti dengan begitu banyak gadis.
                Setiap malam mereka menghabiskan waktu dalam telepon, bertukar cerita mengenai hari-hari mereka jika mereka tak sempat bertemu karena kesibukan. Saling bertukar canda-tawa, saling memanggil dengan nama panggilan yang mereka ciptakan. Siapapun yang melihat dan memerhatikan mereka, akan mengira mereka benar-benar sedang di mabuk asmara. Tapi sebenarnya, bukan demikian –bukan untuk Kristen−. Kristen menikmati permainannya, dan perasaannya yang memainkannya. Tapi itu bukanlah pencapaiannya. Ia menunggu hingga Justin mengucapkan kata cinta padanya, sehingga semua ini menunjukkan siapa yang kalah, dan dia bisa segera pergi melupakan Justin. Prinsipnya tidak bisa berubah.
                Dalam telepon malam mereka, tidak pernah sedikitpun mereka membahas masalah permainan mereka. Tidak pernah. Bahkan menanyakan perasaan satu sama lain pun, mereka tidak pernah. Justin memanjakan telinga Kristen setiap malam dengan suara seksinya. Menyanyikannya lagu-lagu cinta yang penuh kata romantis. Bahkan, Justin bisa merasakan jantungnya berdebar dan tersenyum ketika menyanyikannya. Rasanya seperti memberikan sesuatu yang special pada yang paling special dalam hidupnya. Seperti malam ini. Telinganya bisa mendengar gadisnya baru saja menguap. “Menguap, eh?” Justin terkikik mendengar bagaimana Kristen terdengar mengantuk.
                “sepertinya begitu. Uh. Jam berapa ini?”
                Kepala lelaki tampan itu berputar, melirik jam digital yang terletak di sebelah ranjangnya. “hampir tengah kmalam, sweetheart.”
                “Well…” Kristen menguap lagi. “Aku besok kuliah pagi. Hmm. Temani aku sampai tertidur, ya?”
                Justin menjempit ponselnya dengan bahu dan kepalanya, sementara tanganya menarik selimutnya sampai ke dada. “Of course, babe.” Begitu selimutnya sudah sempurna membungkusnya, baru tangannya kembali memegang ponselnya. “Jadi, aku baru saja menciptakan satu lagu. Mau dengar?”
                “Lagi? Ya ampun, sayang. Berapa banyak lagu yang bisa kau buat dalam semalam?” Kristen terdengar terkejut –kagum.
                Justin terkekeh. “Bisa berapa saja. Tergantung moodku.”
                “Aku benar-benar bangga padamu.”
                Bibirnya mengurai senyum. Itu kalimat terindah yang pernah Kristen ucapkan untuknya selain panggilan ‘sayang dan babe’ yang biasa didengarnya. “Jadi, judulnya Hold Tight.”
                “Siapa insipirasimu, sebenarnya?
                “Bagaimana jika sebenarnya bahwa lagu yang akhir-akhir ini banyak kuciptakan, dan banyak kunyanyikan adalah kau?”
                “Maksudmu?”
                “Kaulah sumber inspirasiku.”
                “Oh! Ya ampun!” alih-alih kagum, Kristen justru terdengar terkejut. Tak sama sekali percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana bisa? Ada segelintir rasa senang menjalarinya hingga ke ujung-ujung kukunya, mengalir ke dalam setiap urat, menyebar cepat mengalahkan kecepatan apapun yang pernah ada di dunia ini.
                “Sebaiknya kau tidur sekarang, babe. They hold on tight. They hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Lips won’t let me go. Lips won’t late me go.”
                “Oh, suaramu selalu membuatku gila. Seandainya kau disini malam ini.” Kristen lalu menguap, lagi. Justin bisa mendengar desah nafasnya yang mulai renggang.
                “They hold on tight. They hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Don’t let this go to your head. But you’re the best, I’ve ever had. Not to mention. That things is swollen. You got me oh so in the trance.”
                Kristen ingin skali mengatakan bahwa betapa beruntungnya dia memiliki Justin disisinya. Segala yang pria itu ciptakan, membuatnya terbang lebih jauh dari perkiraannya. Dan gadis itu sama sekali tak bisa menolak betapa dia menikmati terbang seperti ini. Namun sayang, dia sama skali tidak bisa mengucapkannya. Semua kata cinta, kata memiliki, kata rindu, kata menyayangi, tidak bisa diucapkannya. Bukankah peraturannya sampai ada yang mengaku kalah bila sudah jatuh cinta dengan yang lain? Dan Kristen bukanlah orang yang mau mengatakan itu. Dia tak mau jadi orang pertama. Tidak. Meski harus menanggung sakit hatinya sendiri, dia melakukannya. Ia kembali menguap, matanya mulai mengatup. Namun ia masih terjaga, ia masih menikmati bagaimana suara Justin yang lembut memanjakannya penuh cinta.
                “Something like a zip lock, but a lip lock. Want you wrapped around me like a wrist watch. Oh, so hard walking out. Got me stuck like craazy glue, ooh. Kau sudah tidur?
                “Belum. Jangan berhenti, baby.”
                Justin tersenyum lagi. Gadis itu masih menyimaknya, rupanya. “They hold on tight. Yeah, they hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Lips won’t let me go, lips won’t let me go, oh. They hold on tight. Yeah, they hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Lips won’t let me go, lips won’t let me go, oh. Got me tossing, turning into bed. The places where I rather be instead. You don’t know your strength. Missing you is like adrenaline. Oh, when you got me in a grid lock. What a great spot. Yeah, that turned up kind of love and it just won’t stop. No, so hard walking out. Got me stuck like crazy glue, ooh babe. They hold on tight. Yeah, they hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Lips won’t let me go, lips won’t let me go, oh.”  Justin berhenti sebentar. Lelaki itu berhenti untuk mendengarkan. Apa masih ada suara menguap lagi? Tidak ada suara lain selain suara nafas yang begitu halus, nyaris tak terdengar. “Kau sudah tidur?”
                Tidak ada suara jawaban. Tidak ada sahutan. Hanya ada keheningan di seberang sana. Kesunyian melingkupi Kristen. Justin sadar bahwa gadisnya kini benar-benar telah tertidur. Tapi dia tidak menutup panggilannya. Dia kembali meneruskan nyanyiannya meski Kristen tak lagi mendengar. Dia suka menyanyikan Kristen nyanyian yang indah, yang bisa begitu hangat bagi mereka berdua rasanya. “Holding back the faces I would make. I’m a fan and you’re the rock star. Making it hard on me. Visualize a monster. Cause you’re too bad for me. Shot that arrow. I’m hit. Need you right near me. Trying to maintain, so don’t mind if I turn away, no, no. I try to maintain, so don’t mind if I turn away. They hold on tight. Yeah, they hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Lips won’t let me go, lips won’t let me go, oh. They hold on tight. Yeah, they hold on tight. Ooh, they hold on tight. Them lips won’t let me go. Lips won’t let me go, lips won’t let me go.”  Justin sudah selesai, lagunya telah selesai. Tapi dia masih belum memutuskan panggilannya. Dia masih terjaga, berusaha mendengar sekecil apapun suara itu dari tempat Kristen. Tapi tak ada yang terdengar. “Kau sudah tidur, kan?” tanyanya sekali lagi memastikan. Bodoh, sebenarnya. Tapi dia benar-benar ingin memastikan bahwa gadis itu sudah tertidur. “Baiklah, Good night, love. I love you.”
                Klik. Panggilannya selesai. Justin meletakkan ponselnya, dan merebahkan kepalanya, ia memejamkan matanya, berharap esok jauh lebih menyenangkan bersama Kristen.

***

                Empat gadis yang hampir selalu bersama itu, kini menikmati waktu kosong mereka karena dosen mereka tak hadir siang ini. Beberapa kudapan ada di atas sebuah meja dengan empat gelas plastik minuman soda menemani mereka. Mereka duduk malas, bersandar pada punggung kursi mereka masing-masing. Kristen sibuk dengan ponselnya, melihat hasil fotonya pagi tadi di depan cermin kamarnya. Sementara yang lain mengobrol random, sesekali Kristen menimpali jika dia tahu. “Kau tahu pagi ini ada apa?” Mary membuka topik lainnya, setelah topik mengenai tayangan Fashion Police di televisi semalam selesai dibahas.
                Nora menaikkan alisnya. Memang ada apa, pikirnya. “Tidak ada apa-apa, kan?” tanyanya memastikan. Pasalnya, jika terjadi sesuatu di antara mereka, atau jika terjadi sesuatu di kampus, pastilah mereka yang paling tahu pertama dibanding siapapun.
                “Oh girls, sejak kapan kalian jadi kudet?” Tanpa tedeng aling-aling Olivia menimpali dengan mengeluh seolah mereka mendadak mengalami kualitas penurunan yang super tajam. Tangannya kembali meletakkan gelas plastik minuman sodanya yang isinya hampir tandas.
                Kristen langsung menurunkan ponselnya dari matanya. Atensinya langsung teralihkan pada kata-kata Olivia. “Kenapa kau tidak segera mengatakannya saja, Olivia?” sahutnya agak kesal dengan memberi temannya itu death glare. Gadis itu tak pernah suka berada di situasi yang rumit atau berada bersama orang-orang yang membuat sesuatu yang seharusnya bisa dipermudah tapi justru malah di persulit.
                Olivia agak terkejut dengan sikap si nona Fletcher yang mulai emosi. Bukan sesuatu yang baik membangkitkan sisi kemarahan Fletcher muda itu. Raut wajah gadis itu berubah total. Begitu juga suasana di antara mereka berempat. Aura dingin dan tegang menyelimuti mereka berempat tanpa memengaruhi orang lain di luar mereka. “Sorry, Kris.” Olivia merendahkan suaranya.
                Kembali hening sejenak karena Kristen masih terlihat menajamkan bola matanya yang indah. “Okay.” Mary memecah kesunyian, berusaha bertingkah bahwa ketegangan itu tak pernah berada di antara mereka. Tubuhnya berposisi tegap, meraih minumannya dan menyedotnya dengan sedotan berwarna kuning. “Bri baru saja melepas keperawananya.”
                Kelopak matanya melebar, matanya membalalak. Kristen terkejut. “Bri?!” ulangnya tak percaya. Rasanya telinganya baru saja menipunya.
                “Nah, Liv, aku benar, kan. Kristen pasti terkejut. Jadi, aku menang taruhan.” Mary berpaling dari keterkejutan Kristen pada Olivia, sahabatnya. Olivia hanya memutar matanya, lalu Mary berbalik pada Kristen dan Nora yang sama-sama terkejutnya. Hanya saja, Kristen sedikit lebih parah karena sampai meneriakkan nama Bri, membuat seisi kantin sontak menoleh padanya.
                “Lihat apa kalian?!” Nora menyalak galak seperti kucing yang bertemu musuhnya pada pasang-pasang mata yang memusatkan atensi mereka pada mejanya dan ketiga kawannya. Sontak mereka yang memusatkan perhatiannya langsung tersontak ngeri dan berpaling, kembali melanjutkan aktivitas mereka yagn tersisa beberapa detik.
                Setelah Mary memastikan bahwa tak ada yang lagi memusatkan perhatian pada mereka, Mary menjawab Kristen. “Yap. Dia. Bri melepasnya semalam dengan... err –siapa namaya, Liv?”
                “Jordan.”
                “Nah, Jordan.”
                Kristen mengangguk-angguk mengerti. Gadis itu lalu menarik dua sudut bibirnya yang dipoles dengan lip gloss, tersenyum puas. “Itu brarti… Tak ada lagi yang virgin di antara angkatan kita, eh?”
                “Jadi?” Mary sama sekali tidak mengerti. Jika memang tak ada lagi, lalu kenapa? Kenapa Kristen harus mengatakan itu dnegan wajah seperti itu? Seperti orang yang menyimpan satu rencana.
                “We should celebrate it!” Mata Kristen berbinar dengan tampang senang.
                Ketiganya mengubah ekspresi mereka seketika. “Kau benar!” Nora bersorak tak kalah semangat dari Kristen.
                “Okay, we need to find Bri now. Kita berpencar.”
                Olivia mengangguk, begitu pula dengan Nora dan Mary. Mereka berempat bangkit berdiri, kembali menyampirkan tas mererka di bahu, dan berjalan keluar dari kantin, meninggalkan kudapan mereka yang bahkan isinya hanya berkurang sedikit. Sungguh satu pemborosan. Tapi, apalah arti itu jika mereka bahkan mampu membeli kantinnya?
                Bri hanyalah mahasiswi biasa. Beberapa hal yang diketahui publik selain bahwa Bri adalah gadis yang penampilannya biasa –tidak se’wah’ Kristen, Nora, Mary dan Olivia− Bri jugalah masih perawan. Itu adalah berita yang paling sempat heboh beberapa minggu di awal tahun ajaran baru. Bayangkan. Sembilas tahun dan masih virgin? Okay, memang tidak ada yang salah dengan itu, tapi… tidakkah aneh gadis seumur dirinya masih perawan sementara gadis-gadis yang masih menginjak bangku high school maupun junior sudah melakukan itu?
                Bri seorang gadis dari kalangan atas yang tidak begitu memiliki banyak teman. Meskipun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kekayaan keluarga Bri setara dengan Kristen, namun fakta itu nyatanya tidak bisa melambungkan namanya. Tertutup oleh penampilannya yang sederhana, ia juga tertutup. Kabar berhembus bahwa Bri akhirnya melepaskan keperawanannya, pertama diketahui oleh Mary, yang merasa bahwa cara berjalan dan bentuk tubuh Bri terlihat sedikit berbeda.
                Kristen menelusuri lorong kampus, berharap menemukan gadis berambut brunette dengan kemeja dan celana panjang sedang memeluk beberapa buku. Bri bukan kutu buku, tapi dia biasa membawa banyak buku saat di kampus. Tangan Kristen bergerak mencekal siku seorang mahasiswi yang melewatinya. “Kau lihat Bri?”
                “Dia masuk ke perpustakaan, kalau aku tak salah lihat.”
                “Thanks.” Kristen langsung melepas cekalannya dan berjalan sedikit lebih cepat di atas platform coklatnya. Kristen masuk ke dalam lift, dan menekan panel bernomor tiga di sisi lift, tepat saat pintu baja itu menutup sempurna.
                Denting lift terdengar seiring dengan pintu bajanya yang kembali membuka. Kristen langsung melompat keluar, dan membawa dirinya menuju arah barat di lantai tiga. Jarinya membuka pintu perpustakaan, dan menutupnya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang keras. Suasananya sunyi-senyap, nyaris seperti ruangan tak berpenghuni menyambutnya. Ia berjalan menuju konter tempat dimana penjaga perpustakaan biasanya berada. Ia meletakkan tangannya di atas meja konter, dan mengetuk-ngetukkan kukunya yang panjang di atas meja tersebut hingga menimbulkan bunyi ketukan. “Apa Bri disini?”
                “Kenapa tidak coba mencarinya?” Balas si penjaga perpustakana dengan balik bertanya. Bukan itu yang membuat Kristen meninggalkan konter perpustakaan dengan umpat-umpatannya. Tapi, kenyataan bahwa penjaga perpustakaan itu menjawabnya dengan sinis. Ya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa dari awal penjaga perpustakaan itu tak menyukai Kristen dan teman-temannya. Menurutnya, Kristen dan yang lain sangat berlebihan dalam hal penampilan. Sikap mereka juga bossy dan membanggakan diri sendiri. Oh, yasudahlah toh itu urusan si penjaga perpustakaan.
                Kristen melewati rak-rak buku yang tingginya hampir sama dengan pilar perpustakaan. Kepalanya melongok ke kiri-kanan, berharap menemukan Bri. Perpustakaan bukan tempat favoritnya. Disini terlalu tenang, bahkan seperti tak ada kehidupan. Sungguh bukan Kristen jika ia berada di perpustakaan. Dan Kristen sampai di rak yang paling ujung di perpustakaan. Dia sudah tidak yakin bisa lagi menemukan Bri disini. Dia sudah menelusuri semuanya, dan tidak menemukan Bri. Dan apakah mungkin menemukan Bri di pojok sini? Disini remang karena cahaya lampu hampir tidak bisa mencapai. “Bri?” panggilnya dengan suara rendah sambil melongok.
                Ternyata, usahanya membuahkan hasil. Gadis berambut brunette dengan kemeja kotak-kotak yang ia yakini sebagai Bri ada disana. Duduk di sebuah kursi dimana sebuah meja yang berada di depannya dirapatkan dengan dinding. Kristen mendekat, menepuk bahu gadis itu karena sepertinya Bri tidak mendengar panggilannya. Tubuh Bri menegang, ia terkejut dan memutar kepalanya ke belakang. Ia langsung kembali rileks begitu mengetahui bahwa Kristenlah yang menepuk bahunya. Ia melepas headphone yang menutupi kedua lubang telinganya, dan meletakannya ponsel berserta headphonenya di atas meja. “Ada apa, Kris?”
                “Well, aku dengan kau baru melepas viriginmu. Itu benar?”
                Bri tampak bersemu merah, malu mendengar pertanyaan itu. Malu-malu ia mengangguk. “Kau tidak perlu malu, tahu. Jadi, itu menyenangkan, kan?”
                Lagi, Bri mengangguk. “Ya ampun, katakan sesuatu dong.” Kristen menepuk pahanya dan mengeluh sedikit keras. Ia lalu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, menyadari bahwa ia baru saja menambahkan volume ekstra dalam suaranya.
                Bri terkikik geli. “Ya, itu… Oh, ya ampun. Aku berharap aku mendapatkannya lagi.” Kristen bisa melihat sebuah kebutuhan dalam mata Bri. Gadis itu terlihat mulai kecanduan. Bibir Kristen tersenyum. Itu wajar. Dulu dia juga merasakan yang sama dengan Bri saat awal-awal ia mengenal sex. Semuanya terasa begitu gila, nikmat, dan membuatnya ingin lagi, lagi, dan lagi. Ia bahkan sampai berfantasi meski ia tidak melakukan fantasinya ketika ia berhubungan.
                “Begini, bagaimana jika kita merayakan pelepasan virginmu?”
                Bri mengubah ekspresinya, melipat dahinya, menciptakan kerutan-kerutan kecil di dahinya. “Maksdumu?”
                “Jangan bodoh, Bri. Kua tahu pasti bahwa kau adalah gadis terakhir yang dulu masih perawan di angkatan kita. Dan sekarang, kau sama dengan gadis lainnya. Tidakkah itu perlu dirayakan agar terkenang? Huh. Aku bahkan tidak melakukan perayaan selepas aku kehilangan perawanku.”
                “Sure. Itu ide yang bagus.” Bri mengulum senyumnya. Ia senang akhirnya mendapati Kristen ada di sebelahnya, merencanakan sesuatu yang menarik untuk dirinya, bukan untuk Kristen pribadi.
                “Okay, kita akan buat sebuah party. Bagaimana jika pool party? Apa rumahmu kosong?”
                “Aku tinggal sendiri. Orang tuaku sedanng di Miami.”
                “Okay, itu bagus. Aku akan carikan DJ, dan kau sepulang dari sini, bisa membeli gelas plastik dan beberapa minuman. Jam tujuh, okay? Aku, Nora, Olivia, dan Mary akan datang lebih awal untuk menemani menyambut teman-teman. Aku bawa Justin dan teman-temannya juga. Apa itu tidak masalah?”
                “Oh, tentu saja itu bukan masalah.” Bri terlihat begitu senang dengan rencana Kristen. Hell. Apa beginikah cara ratu pesta membuat sebuah pesta? “Kau tahu rumahku?”
                Kristen tak menjawab. Ia mengambil  pena Bri yang ada di atas meja, dan merobek pinggiran buku yang terlihat sedang dipinjam Bri. Ia mencoret kertas sobekan itu dengan nomor ponselnya. “Kirim alamatnya kesini. Masalah teman-teman, aku bisa menanganginya.”
                “Thanks, Kris.” Bri menerima kertas itu dengan ekspresi girang. Ia membaca sederet nomor yang tertera di kertas tersebut.
                “You’re welcome.” Kristen tersenyum sambil bangkit berdiri. Urusannya dengan Bri selesai. Ia tinggal menghubungi Penelope dan mengirim pesan broadcast dengan smartphone Blackberrynya. Bibirnya mengembangkan senyum. Satu lagi pesta besar rancangannya akan sukses. Bagaimana tidak? Dia mengundang seorang Justin Bieber!  Bukan hanya Bri yang akan tersorot dalam pesta itu. Tapi juga dirinya.

***

                “Kau dimana?” Kristen mengapit ponselnya dengan bahu dan telinga kirinya. Ia sibuk memakai hot pantsnya. Sebentar lagi, ia, dan ketiga sahabatnya serta Penelope akan menuju rumah Bri.
                “Aku di depan pintu rumahmu, idiot.” Penelope menyahut sedikit terdengar kesal. Tapi, tidak benar-benar kesal. Mana bisa dia kesal dengan sahabatnya sendiri? Ya, Kristen si famous adalah sahabat dari si DJ gila pesta.
                “Masuk saja. Pintunya tidak dikunci. Si jalang itu lupa menguncinya.”
                Tak ada jawaban lagi, dan sambungannya sudah terputus. Kristen melempar ponselnya ke ranjang begitu ia yakin Penelope sudah memutuskannya. Gadis itu kini sibuk memilih atasan apa yang akan di cocokkannya dengan hotpants jeansnya. Ia sudah mengundang Justin dan kawan-kawannya saat ia mampir ke kampus Justin sebentar. Ya, ia mampir hanya untuk menyampaikan undangan tersebut. Ia juga sudah memberitahukan tema partynya. Tangannya meraih tumpukan kemeja yang terlipat dan mengambil kemeja yang berada di lapis ke-empat. Kemeja itu berwarna putih dan tipis. Kristen segera mengenakannya dan saat hendak mengancingkannya, Penelope membuka pintu kamarnya.
                “Kau bilang pool party?” Penelope protes, karena bingung mengapa Kristen memakai kemeja dan celana pendek. Gadis bertubuh seksi itu merasa salah kostum karena ia memakai bikini warna hitam dan hanya menutupinya dengan jubah mandi warna putih.
                “Don’t be stupid, Pen. Aku tidak mau menyambut Justin dan teman-temannya langsung dengan bikini.”
                “Oh, Justin. Mana yang lain?”
                “Kami janjian disana, sekarang. Sebaiknya kita berangkat.”
 ***

  Untuk kali ini, Kristen tak membawa mobilnya. Ia pergi dengan mobil Penelope. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bri, barulah Kristen menyadari bahwa alamat yang Bri berikan padanya terletak di komplek elite. Begitu mereka sampai, Kristen langsung mengetuk pintu rumah Bri, sementara Penelope tampak mengurus peralatan perDJannya. Salah satu dari pintu ganda itu membuka, dan Bri tampak begitu berbeda. Ia memakai hot pants dan kemben bermotif bunga-bunga degan warna dasar biru tua. Kemben itu panjangnya hanya cukup untuk menutupi payudara Bri. Well, Kristen langsung mendapati kesan berbeda begitu melihat Bri. Cukup terkagum dengan penampilan Bri yang begitu jauh berbeda dibanding saat di kampus seperti biasanya. Gadis itu bahkan berani memamerkan perutnya yang ramping, rata. “Aw. So fuckin’ hot.” Kristen berjalan masuk ke dalam, karena Bri telah memberinya celah masuk. Penelope dibelakang mereka, berjalan sambil menarik satu perangkat DJ yang sekilas bentuknya tampak seperti koper.
                Bri memimpin, menuntun mereka menuju halaman belakang rumahnya, tempat dimana mereka akan memulai pestanya. Kristen menepuk bokong Bri karena tak tahan dengan cara gadis itu berpakaian. Ia tak pernah menyangkan bahwa Bri akan begitu berbeda. Ya, Bri rasa-rasanya seperti makhluk asing yang bertransformasi menjadi manusia modern di jaman jadul. “Em, sepertinya DJnya lebih cocok kalau di sana. Bagaimana menurutmu Kris?”
                Kristen dan Penelope memandang taman belakang itu. Cukup luas. Ada satu kolam renang berukuran sedang di tengahnya, di pojok, Bri meletakkan satu kulkas yang Kristen yakini isinya sudah dipersiapkan Bri. Di sebelahnya ada meja dengan bertumpuk-tumpuk gelas plastik. “Sepertinya kita butuh tempat yang agak tinggi supaya kau bisa menonjol, Pen.”
                “Kau benar.”
                “Jadi?” Bri menyahut lagi.
                “Kami butuh meja yang besar, Bri. Bisa?” Penelope memutar kepalanya yang sedari tadi memerhartikan sekitar, beralih pada gadis yang tidak begitu popular itu.
                Ketiganya kemudian mengangkut sebuah meja bebentuk persegi panjang namun tak terlalu panjang juga. Mereka meletakkannya di sudut utara pintu. Sementara Bri membantu menelope menata DJnya, Kristen memeriksa ponselnya. Dan, benar saja. ketiga sahabatnya sudah menyerbunya dengan beberapa pesan singkat. Isinya hampir sama, menanyakan dimana Kristen berada. Ck. Mereka bertiga seperti tak mampu hidup tanpa Kristen. “Aku ke depan sebentar.” Teriaknya sambil berlari kecil keluar dari halaman belakang rumah megah Bri. Tangannya menyimpan kembali ponselnya dalam saku celananya, dan membuka pintu rumah Bri. Satu mobil yang sudah begitu dikenalinya, terparkir rapi di sebelah mobil Penelope. Langsung saja Kristen menghampiri mobil itu, dan tepat saat itu juga, mereka yang ada di dalam mobil itu turun.
                “Kami kira kau belum datang. Makanya kami menunggu di dalam.” Mary menutup pintu mobil Nora saat mengatakan kalimatnya. Kristen memandangi penampilannya. Rok mini warna pink, crop top putih, platform. Dia cantik. Well, kan memang sebenarnya tidak ada yang perlu diragukan dari kecantikan mereka.
                “Aku dan Pen datang awal karena Pen harus mengatur tempatnya. Ayo.” Mereka berjalan masuk dengan Kristen yang lebih dulu melangkah di depan mereka. Gadis itu menggantikan posisi Bri sebagai guide di dalam rumah Bri.
                “Aku baru tahu kalau Bri sekaya kita.”
                “Kau pakai bikini warna apa, Kris?”
                “Hitam.” Kristen menjawab tanpa menoleh pada siapa yang bertanya, seolah pertanyaan itu dihembuskan oleh angin. Tapi, itu tak akan pernah jadi masalah. Toh, si penanya juga tak mempersalahkan itu. Kristen buru-buru memutar badannya ke belakang, menghadap ketiga temannya bergantian sambil menepukkan tangan satu kali. “Ah! Omong-omong soal bikini, jangan terkejut kalau kau melihat Bri nanti.”
                Nora melipat dahinya. Gadis itu agak sering melakukannya. Sebenarnya itu sedikit membuat Kristen khawatir, karena takut sahabatnya akan lebih cepat berkeriput. Tapi Nora tak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Itu sudah kebiasannya. “Memang kenapa?”
                Kristen tak sempat lagi menjawab karena mereka telah tiba di ujung rumah Bri, di halaman belakang rumahnya. Kristen sudah tak bisa menyibukkan diri lagi untuk memperhatikan ekspresi sahabat-sahabatnya yang bisa dipastikan terkejut melihat penampilan Bri. Bagaimana tidak? Dia sendiri saja terkejut. Mereka berjalan mendekati meja yang kini sudah seperti mini panggung bagi Penelope. Penelope ada dibalik DJnya. Gadis yang memakai jubah mandi itu tampak sibuk dengan peralatannya. “Bagaimana, Pen?”
                “Hai, Pen.” Olivia menyapanya, yang hanya dibalas dengan anggukan dari Pen.
                “Done. We’re ready.” Penelope tersenyum sambil memandang mereka berlima yang ada dibawah mereka.
                “Jam berapa ini?” bola matanya bergantian memandang gadis-gadis itu.
                Nora mengangkat tangannya, melirik jam tangan Rolex yang melingkar di tangan kirinya. “Hampir jam tujuh.”
                Kristen kembali mendongakkan kepalanya, melihat kea rah Penelope. “Kau bisa mulai, Pen.”
                “Wait, girls! Bagaimana bisa kalian melupakan satu hal yang penting?!” Nora menginterupsi dengan gerakan tangan yang menyatakan ‘berhenti dulu’, menyela aktivitas Penelope yang baru saja hendak memulai pekerjannya.
                Kristen menaikkan sebelah alisnya memandang sahabatnya tersebut. “Where’s the lamp?” tanyanya lagi dengan sedikit melotot.
                Sontak semua menoleh pada Bri dan gadis sang pemilik rumah itu menyambut pandangan tertuju itu dengan satu cengiran. “Don’t worry about that.” Bri berjalan menuju dekat kulkas, dan menekan satu saklar, dan lampu-lampu langsung menyala. Tergantung di atap-atap tepi-tepi dinding pembatas halaman belakang, dan sebagian berada di dinding tertempel rendah. Lampu-lampu itu bersinar dengan warna biru, dan menyala dengan berkelap-kelip.
                “Nah!” Nora menarik satu senyum puas.
                Penelope tak berkomentar apa-apa, dan begitu ia merasa tak ada lagi yang kurang, gadis bertubuh ramping itu langsung melakukannya. Ia melepas jubah mandinya, menunjukkan tubuhnya yang hanya terbalut bikini serta beberapa tattoo yang terpeta. Satu tindikan menghias perutnya. Ia benar-benar mengagumkan. Dalam beberapa detik selanjutnya, halaman belakang rumah Bri sudah berubah jadi begitu berisik. Ada lantunan lagu yang menggema dengan suara keras disini. Hentakan dan dentuman music yang keluar dari sound system begitu terasa. Sampai-sampai Kristen dan yang lain tak bisa menahan diri untuk tidak menggerakkan tubuh mereka mengikuti setiap hentikannya. Mereka memulai pesta mereka, meski belum ada dari teman-teman mereka yang datang. Menyadari posisinya, Kristen pamit pada Bri untuk ke pintu depan, menyambut teman-teman mereka. Kali ini, gadis itu membiarkan Bri, sang tuan rumah menikmati pestanya.
                Bahkan, hingga Kristen berada di pintu masuk rumah Bri-pun, lagu Pretty Girls dari Wale yang sedang diputar Penelope masih terdengar jelas. Gadis itu sambil menunggu, diam-diam mulai bertanya-tanya jam berapa kiranya Justin akan datang. Namun pikiran itu tak bertahan lama, karena ia mendengar pintu rumahnya sudah di ketuk. Ia membukanya, lalu tersenyum. “Hei. Di belakang ya.” Sapanya pada dua orang teman seangkatannya, yang sejujurnya tak diketahuinya siapa. Ia langsung saja memberitahu tempatnya tanpa tedeng aling-aling. Toh, dia juga tidka begitu peduli.
                Jarum jam terus bergerak, hingga kini sudah lebih dari jam tujuh. Dan semakin pula banyak yang datang. Saat Kristen merasa bahwa sudah hampir seluruh penghuni kampus di angkatannya datang, ia menutup pintu rumah Bri, dan melenggang menuju tempat pesta. Iris matanya bisa melihat bahwa tempat itu kini sudah berubah ramai, begitu berbeda saat ia pertama datang tadi. Beberapa teman-teman seangkatannya sudah sibuk berpesta di dalam kolam renang. Bri, Jordan, Nora, Mary, dan Olivia juga di dalam. Mereka telah telah benar-benar basah. Hanya tersisa dirinya yang masih kering dan sentausa masih berpakaian lengkap. Kebanyakan dari mereka (gadis-gadis) yang berada disini sudah menanggalkan pakaian mereka, dan hanya mengenakan bikini. Tak kalah pula laki-lakinya. Mereka hanya menyisakan boxer mereka. Sebagian lainnya berada di dekat meja, sibuk mengambil minum dan membuka isi kulkas.
                Suasana pesta. Benar-benar pesta anak buah. Beberapa laki-laki sudah ikut bergabung di dalam kolam. Ada yang bersama kekasihnya, ada yang random asal pilih salah satu dari gadis yang ada di kolam. Mereka melupakan fakta bahwa ini milik siapa dan bukan milik siapa. Yang mereka tahu mereka bersenang-senang, berpesta. Tak peduli apa yang terjadi dan apa yang mereka lakukan, mereka tetap berpesta. Ada yang menggendong gadisnya di dalam kolam sambil mengangkat gelas bir mereka tinggi-tinggi, ada yang suah berciuman pesta dan di rekam teman-temannya dengan kamera ponsel, ada pula yang masih sibuk melompat-lompat girang mengikuti music. Kristen menyukai ini, sebagai ratu pesta, pesta yang direncakannya terlihat sukses. Ia masih senantiasa di tempatnya berdiri, memerhatikan teman-temannya. Sampai satu getaran di saku celananya membuyarkan cengiran seksinya yang merasa senang. Satu nama yang berisi lima huruf bercetak Justin menghiasi layarnya. Alih-alih menjawab panggilan Justin, ia berbalik, kembali berjalan menuju pintu rumah Bri. Sedikit sulit, karena ia harus menerobos kerumunan teman-temannya yang berdiri di depan pintu menuju halamam belakang.
                Kristen menarik nafas dalam-dalam sebelum ia membuka pintunya. Seharusnya ia tidak nervous. Tapi entah kenapa gadis itu sedikit deg-degan. Begitu ia membuka pintunya, lima orang pria dengan tampang tampan berada dalam penglihatannya. “Hai, boys.” Sapanya sambil tersenyum. Kristen membuka pintunya lebih lebar lagi, dan memberikan celah untuk Niall, Justin, Cody, Corentin, dan Jai masuk.
                “Hai, baby.” Justin menyapanya dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Kriten. “Hai, baby.” Sapa Kristen balik. Bibir Justin lalu mendarat sebentar di bibir Kristen dan satu bunyi kecupan melepaskan kedua bibir itu.
                “Come on, boys.” Kristen menarik tangan Justin agar tetap melingkar di pinggangnya dan mereka berdua melangkah di depan yang lain menuju halaman belakang. Telinga mereka bisa mendengar bahwa music baru saja berganti menjadi lagu Head Will Roll milik Yeah Yeah Yeah.
                Kedatangan kelima pria itu dan juga Kristen menyitar perhatian selama sepernano detik. Tanpa tedeng aling-aling, mereka memberikan jalan untuk keenam orang itu. Dan setelah itu suasana kembali ke sedia kala. Tanpa peduli siapa yang datang dan seberapa famousnya, mereka melanjutkan pestanya. Niall nyengir lebar memerhatikan lekuk-lekuk tubuh gadis-gadis yang hanya memakai bikin di kolam renang itu. tubuh mereka basah, wajah mereka senang hebat, tubuhku mereka meliuk-liuk. “Damn it!” serunya seperti tak tahan.
                “Hey, Niall. Mau kukenalkan teman-temanku?” Tawar Kristen melirik Niall yang sudah tampak ingin menggila.
                “Niall gila pesta.” Justin berbisik lembut di telinga Kristen, menceritakan informasi tentang sahabatnya yang doyan makan itu. Kristen terkikik sebentar. Atensinya masih bertahan pada Niall. “Temanku sudah gila disana. Kasian, tak ada yang menemani.” Imbuhnya lagi. Kristen lalu menggulirkan irisnya pada Corentin, Cody, dan juga Jai. “Kalian juga mau? But, sayangnya, sahabatku hanya tiga. Sedangkan kalian berempat.”
                “Oh, sudahlah! Kenapa kita tidak segera bergabung?! Kalian banyak bicara.” Niall sudah lompat-lompat dan menggerakkan tubuhnya mengikuti music.
                “Ya ampun aku hampir lupa! Guys, beruntunglah karena DJ kita malam ini adalah sahabatku. Setidaknya, yang tersisa dari kalian tidak perlu gigit jari. Nah boys, teman-temanku yang tiga ada disana. Yang memegang botol bir.”
                Niall dan yang lain mulai melepas baju mereka, melepas celana mereka, dan bermodalkan boxer mereka, ketiganya masuk ke dalam kolam, bergabung dengan yang lain. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa angin malam menerpa kulit mereka. Mereka tidak peduli pada hawa dingin yang ada. Hanya Corentin yang masih berpakaian lengkap. Ia berjalan menuju sudut utara, naik ke atas meja dan tampak mendekati Penelope. Namun Penelope tak bisa terlalu banyak menanggapi karena pekerjaannya harus terus bejalan.
                “Bagaimana dengan kita?” Justin melempar pertanyaannya dengan berbisik. Sejujurnya, sulit untuk bisa mendengar di tengah kebisingan yang ada. Pasalnya bukan hanya suara music yang ada. Tapi juga suara tawa, cekikikan, jerit-jeritan gila pesta.
                Kristen tak mejawab, hanya menarik tangan Justin, membawanya ke sudut yang lain. Jemarinya hari ini sudah berubah dengan cat kuku warna yang lain. Warna hijau mint. Ia membuk pintu kulkas, mengambil dua botol bir dan melepas tutup botolnya. “Bir atau vodka?”
                “Vodka, please.”
                “Kalau begitu, berikan ini pada teman-temanmu.” Justin berjalan menuju pinggir kolam di dekat DJ, tempat dimana teman-temannya berkumpul. Ia berjongkok di tepi kolam, memberikan dua botol bir itu ada Niall dan Jai. Sementara Cody tampak berbagi botol dengan Nora. Niall sedang menikmati ereksinya di balik boxer tengah digesek dengan bokong padat Mary yang meliuk indah layaknya penari striptease. “Yeah, baby” ceracaunya sambil menenggak birnya.
                Jai hanya mengisap rokoknya bersama Olivia. Ya, gadis cantik seperti Olivia pun tak bisa di pungkiri kalau merokok. Mereka bergantian dengan satu batang rokok itu. Mengepulkan asapnya di udara. Justin kembali berdiri dan meninggalkan mereka dengan kesibukan gilanya masing-masing.
                Kristen sudah dengan dua botol vodka di tangannya. Tutupnya belum terbuka. Dan begitu melihat sosok Justin yang kian mendekat, tangannya menyodorkan lelaki itu salah satu botolnya. Mereka mencari sisi kosong dari kolam renang tersebut supaya bisa ikut masuk. “I’m coming! WHOOOOO!!!!” Kristen menjerit. Tanpa tedeng aling-aling, ia melompat masuk ke dalam kolam dan membuat cipratan bagi yang lain. Suasana kian menggila. Justin tanpa diketahui siapa pelakunya, di dorong masuk ke dalam kolam. Mereka berdua kini sudah resmi sama-sama basahnya. Suara tawa mengisi penuh halaman belakng rumah Bri.
                Gadis itu membuka tutup botolnya, dan mulai menenggak sedikit demi sedikit rasa pahit dari minuman itu. Justin tak membuka botol miliknya, melainkan mengambil botol milik Kristen dan meminumnya. Ia kembali menyerahkan pada gadis yang ia cintai itu botol vodkanya, dan Justin berenang menuju tepi kolam. Diletakkannya botolnya yang masih utuh dan melepas kaosnya. Menampakkan tubuh bertatonya dan juga seberapa atletisnya dirinya. Justin hanya tersenyum diperhatikan begitu oleh Kristen. Kristen sih senang-senang saja melihatnya. Lagipula, siapa yang mau melewatkan tubuh seseksi Justin? “Kau masih memakai kemejamu, baby. Come here.”
                Kristen mendekati Justin, tepat berada di hadapannya. Dan jari-jari Justin yang sudah begitu terlatih untuk membuka pakaian kaum hawa, bergerak lincah membuka satu per satu kancing kemeja Kristen lalu membantu gadis itu meloloskan tangannya. Satu senyum nakal tersimpan di wajah seksinya. Kemeja Kristen lalu di tumpuknya di atas baju miliknya. Tangannya kembali melingkar pada pinggang Kristen, dan menarik tubuh itu kian mendekat, memeluknya, dan menginterupsi kedua kaki Kristen supaya melingkar di sekeliling pinggangnya. Kedua tangan Kristen sibuk memeluk leher Justin. Lalu mereka berciuman sebentar, saling memagut bibir, bertukar lidah dan air liur. Mereka tak peduli pada beberapa seruan yang diarahkan pada mereka. “Keep that, Kristen! Whoo!” teriak Mary, sekuat yang ia bisa. Gadis itu menunjuk-nunjuk sahabatnya yang berciuman sensual itu dengan tangan terkepal memegang leher botol bir nya. Niall sedang memeluknya dari belakang, menciumi bahunya.
                Kristen yang menangkap suara Mary hanya bisa tersenyum geli di sela-sela aktivitasnya mengisap lidah Justin. Matanya yang terpejam, menimbulkan betapa ia menikmati ciumannya dengan Justin. Kepala mereka sesekali bergantian arah. Dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Setelah beberapa menit dan sedikit mendapat kepuasan dengan ciuman mereka yang agak liar, keduanya melepas ciuman mereka. Well, lumayan. Tidak banyak lagi yang memerhatikan mereka. Mungkin bosan. Tangan kiri Kristen yang mengalungi leher Justin, kini di lepasnya dan gadis itu kembali minum. Iris abu-abunya berpendar ke sekeliling. Semua menikmati pesta. Beberapa berkumpul di dekat Penelope dan juga Corentin.  Mereka melompat-lompat menikmati music. Well, sebenarnya tidak hanya di dekat DJ saja, mereka semua melompat-lompat. Meliuk menikmati musik yang terus berganti dari satu lagu ke lagu lainnya. “Sebentar, sayang.” Kristen bergerak, melepaskan pelukan mereka yang begitu sensual dan bergairah. Ia melompat naik, keluar dari kolam dan berjalan menghampiri Penelope. Titik-titik air terus berjatuhan dari tubuhnya, dari hot pants jeans-nya. Ia naik meja, sedikit meminta Corentin menyingkir supaya mereka bisa mengobrol sebentar. Kristen tampak berbisik-bisik, dan Justin hanya bisa menunggunya dengan memperhatikan keduanya.
                Setelah hampir satu menit, Kristen turun dari atas meja, lalu kembali masuk ke dalam kolam. “Jadi?” Justin bertanya sambil melingkarkan kembali tangannya di pinggang Kristen. Laki-laki itu tampak tak mau kehilangan Kristen sedetikpun.
                Kristen nyengir, menunjukkan sederet giginya yang putih rapi dan terawat sambil menggigit bibir bawahnya, membuat Justin gemas. “Come on.” Kristen menarik tangan Justin yang ada di pinggannya, mengajak berpindah menghampiri Bri dan sahabat-sahabatnya.
                “Jam berapa?” Kristen berteriak bertanya pada Nora, berusaha mengalahkan suara music yang menggelegar.
                Nora hanya menunjukkan tangan kirinya pada wajah Kristen, membiarkan gadis itu mencari tahu sendiri. Iris kelabu Kristen menemukan jarum pendek ada di angka sembilan sementara yang panjang berada di antara angka empat dan lima. Kepalanya yang basah mengangguk dan sahabatnya itu menurunkan tangannya. Kristen menoleh pada Penelope, memberi tanda untuk gadis itu dengan mengangkat tangannya dan memberi jempolnya pada arah Penelope. Penelope, yang jauh sebelumnya sudah diberi kode agar nanti menghentikan sebentar musiknya, mendapati Kristen sudah memberikan tandanya. Gadis itu perlahan melepas headphonenya, dan perlahan mengecilkan volume musiknya, hingga suasana perlahan mulai tidka sebising tadi, dan ia mulai mempause musiknya. Beberapa tampak bertanya-tanya mengapa tiba-tiba music berhenti. Mereka memandang Penelope penuh tanya, sebagian terlihat bingung, dan sebagian hendak memprotes DJ cantik tersebut.
                “OKAY GUYS!” Kristen berteriak, mengalihkan atensi teman-temannya dari Penelope. Semua pandangan kini berpusat padanya. Termasuk Justin yang terhenyak sendiri mengapa gadisnya tiba-tiba berteriak. “WE KNOW, WE’RE HERE TO CELEBRATE THE LOSS OF BRI’S VIRGIN. SO, COME ON. PUT YOUR DRINKS UP−“ Kristen mengangkat botol vodkanya tinggi-tinggi. Dan perlahan-lahan satu-satu, mereka mengangkat botol bir mereka, mengangkat gelas mereka hingga melewati kepala mereka. “− FOR BRI.” Kristen tersenyum, melempar pandangannya pada Bri, sang empunya rumah.
                “BRI.” Semua menyahut dengan semangat, memandang Bri, lalu menenggak minuman mereka. Sepernano detik kemudian, sorak-sorai tepuk tangan dilayangkan pada Bri. Kristen yang masih memandang Bri, bisa melihat senyum kegembiraan terpancar di wajahnya yang tengah di rangkul Jordan, kekasihnya yang mendapatkan keperawanan Bri. Jordan ikut tersenyum senang untuk kekasihnya.
                Seolah mengerti dengan situasinya, Penelope kembali memplay lagunya, dan perlahan menaikkan volume suaranya menjadi sedia kala, dan pesta pelepasan keperawanan Bri kembali berlanjut. Kegilaan terus berlanjut. Kristen menggelengkan kepalanya ke kiri kanan, meliuk dalam pelukan Justin, menggila mengikuti music. Beberapa orang di dekat kulkas menggila dengan membuat lomba minum. Beberapa botol terus bertambah jumlahnya. Ada yang menambahkan vodkanya dengan jeruk nipis sehingga menimbulkan rasa asam. Beberapa orang juga sudah tidak lagi berada di halaman belakang. Mereka berpindah masuk ke dalam rumah Bri. Melakukan battle dance yang disertai dengan botol bir yang kosong. Mereka berusaha menghindari botol bir yang terpasang berdiri di tengah supaya tidak pecah. Tapi nyatanya, banyak yang kesulitan. Bertumpuk-tumpuk pecahan botol bir, disertai suara PRANG mengisi dapur yang letaknya persis di sebelah pintu menuju halaman belakang.
                Botol vodka milik Kristen telah tandas olehnya tanpa campur tangan Justin, karena Justin sendiri telah membuka botolnya. Matanya sudah sayu, sudah tekatup-katup karena mabuk. Namun kelopak matanya tetap diusahakannya untuk tetap membuka meski kesadarannya sudah entah kemana. Justin sendiri masih tampak segar meski tidak bisa dipungkiri bahwa vodka sudah agak mengambil kesadarannya, ia tengah mengambil bir lagi yang baru di beli teman Bri karena persediaan di kulkas Bri telah tandas. Tangannya sudah memegang dua botol yang tutupnya telah dibuka terlebih dahulu. Begitu sampai di tepi kolam, ia meletakkan dua botolnya dan membangunkan tubuh Kristen yang terbaring di pinggir kolam. Ya, gadis itu sudah tepar. Tergeletak begitu saja di pinggir kolam dengan tubuh basah dan bikini dan hot pants jeans-nya yang masih melekat. Namun Kristen masih tetap terjaga meski kesadarannya telah direnggut lebih dari setengah. “Come on, baby.” Justin memposisikannya kembali duduk. Dan begitu keduanya sudah duduk di pinggir kolam dengan kaki bersila, Justin menyodorkannya satu botol bir. Kristen menerimanya dengan senang, satu cengiran ada di wajahnya.
                Sahabat-sahabatnya sudah menepi dan keluar dari kolam. Mereka duduk di dekat Justin dan juga Kristen. Para gadis –Nora, Mary dan Olivia− sudah teler karena mereka menenggak satu butir ekstasi dari salah satu laki-laki teman kampus mereka. Hanya Kristen yang tidak ikut, karena Justin melarangnya. Ya, nasib para gadis itu kurang lebih hampir sama Kristen. Olivia tapi jauh lebih segar karena gadis itu, selain merokok, juga yang paling kebal di antara mereka berempat dalam alkohol. Jai sedari tadi terus memagut bibir ranum Olivia sambil menggerayangi tubuhnya.
                Kristen yang memerhatikan Olivia dengan Jai, hanya mengompori mereka berdua, membuat mereka lebih heboh lagi. Justin hanya tertawa melihat keduanya. Sesekali ia memerhatikan sekitarnya, memandangi bagaimana keseluruhan pesta itu sekarang. Jam sudah menunjukkan tengah malam, dan sebagian sudah terlihat mabuk berat. Namun masih tetap segar. Penghuni kolam renang Bri terus berganti. Ada yang masuk ke kolam dengan melompat, ada yang berseru, ada yang begitu saja masuk dengan cara halus. Mereka berteriak-teriak, ada yang tengah berciuman, ada yang juga tengah di gendong di atas bahu. Seolah kegilaan dan ide-ide mereka untuk terus berpesta tak ada habisnya. Sedangkan Bri sendiri kini sudah tak tahu lagi berada dimana. Dia tidak tampak.
                “WHOOOOOOO!!!!” seruan itu datang di iringi tepuk tangan. Justin kembali meminum birnya sambil melihat siapa yang datang, muncul dari pintu masuk. Seorang laki-laki datang berlari kecil dengan membawa benda di tangannya. Begitu ia ada di seberang barat kolam, laki-laki itu menyalakan korek ke ujung benda yang dibawanya, dan terdengar bunyi lesatan ke udara, dan suara tembakan kembang api terdengar di angkasa. Cakrawala yang hitam kini berubah indah dengan ledakan kembang api. Semua bertepuk tangan seketika, berseru girang sambil mendongak memandang ke langit. Kristen di sebelahnya ikut bertepuk tangan, berseru kegirangan, lalu tertawa. Gadis itu mabuk, namun tidak terlihat seperti demikian. Hanya jika benar-benar memandang mata gadis itu yang sudah memerah dengan kelopak mata yang turun, nyaris terkatup bisa mengetahui bahwa gadis itu mabuk.
                “Jus.” Kristen menyahut kecil, membuat atensinya pada langit malam beralih pada gadis cantik berkondisi setengah kering di sebelahnya. Iris sewarna madu itu bertemu dengan iris kelabu milik gadis famous yang merencanakan party ini.
                “Yeah, baby.” Balasnya lembut, sambil membelai penuh sayang pipi Kristen. Kristen memejamkan matanya, menikmati sentuhan Justin. Latar suara kembang api masih terdengar riuh dan dalam pejaman matanya, ia bisa merasakan bahwa bibir Justin melumatnya lembut, penuh perasaan. Mengapit bibir bawahnya penuh-penuh, memagutnya, menyeruakkan lidahnya masuk ke dalam rongga bibir Kristen. Perlahan, tangannya yang masih memegang botol bir yang isinya baru tandas setengah, berpindah mengalungi leher Justin. Mereka berdua berusaha menyesuaikan diri membuat diri mereka sama-sama nyaman. Bunyi kecup-kecupan mereka menghias suara keras dari lesatan kembang api yang menuju udara di angkasa.
                Karena keperluan oksigen yang mendesak, keduanya lantas melepas ciuman mereka, dan sama-sama mengambil nafas dalam-dalam. Kristen lalu menenggak kembali birnya, begitu pula dengan Justin. Tapi gadis itu berubah pikiran dan memutuskan untuk menenggak setengah isi botol birnya hingga tandas, tak lagi tersisa. Dan bibirnya melepaskan bibir botol itu begitu tak ada lagi yang tersisa isinya. Ia menghembuskan nafasnya keras-keras, lalu mengusap dengan kasar bibirnya. Entah kewarasannya berada dimana, ia bangkit berdiri, mengulurkan tangannya, dan Justin yang mendongak memandangi tangan itu, mengulurkan tangannya seraya bangkit berdiri.
                Kedua sejoli itu kini dengan Kristen yang sedikit sempoyongan berjalan menerobos orang-orang, keluar dari halaman belakang, berusaha mencari tempat yang lebih privasi untuk mereka berdua. Dapur rumah Bri tidak terlihat baik. Banyak pecahan beling botol dan gelas-gelas plastic berserakan, mereka berjalan terus masuk, menemukan satu pintu di dekat tangga naik, Kristen membukanya. Seketika seorang gadis berseru kesal. “What the fuck?!” protesnya sambil memandang pada dua orang yang berdiri di depan pintu. Gadis itu merasa aktivitasnya dengan sang pacar jadi terganggu. Ya, mereka sedang melakukan satu persertubuhan dengan posisi woman on top. Gadis itu tampak langsung menyilangkan kedua tangannya di dada, menutupi payudaranya yang tergantung. Sang laki-laki justru tak bisa menyahut karena terkejut. Lidahnya seperti tidak berfungsi. Jadi, dia hanya memandanng Kristen dan Justin dengan air muka terkejut dengan posisi hendak duduk. Satu sikunya menahan tubuhnya.
                “Hei, watch your fuckin’ mouth.” Kristen bergumam tak kalah kesal sambil menunjuk-nunjuk gadis itu, lalu menutup kembali pintunya. Justin tak mau bertindak, baginya tadi tontonan gratis. Well, memang menyenangkan ketika kita sendiri melakukannya. Tapi, melihat orang lain melakukan itu juga tak kalah menyenangkan. Justru satu cengiran lebar tadi terkembang di wajahnya.
                Kristen kembali menarik tangan Justin, dan mereka berjalan menuju satu pintu di dekat ruang tamu. Lagi, kamar itu sudah ada yang menghuni. Bedanya, sang penghuni kamar hanya sedikit menjerit, membuat Kristen seperti muak, lalu menutup pintunya. “Apa tidak ada yang kosong?!” gumamnya menggeram kesal.
                Akhirnya Kristen memutuskan untuk naik ke lantai atas rumah Bri, melewati anak tangga yang banyak di tempati teman-temannya sebagai tempat berciuman. Duduk di tangga-tangga itu, mereka saling beradu lidah. Ada yang threesome dengan sesame jenisnya dengan yang satu meraba-raba tubuhnya, sementara yang dua berciuman. Ada pula yang normal (laki-laki dan perempuan) berciuman, dan ada yang jutsru malah tertidur dengan kepala bersandar pada pembatas tangga begitu saja. Di lantai atas, dari satu ruang baca di sudut ruangan, dan empat pintu. Kristen memilih secara random, dan membuka satu pintu yang terbuat dari kayu. Begitu membukanya, iris mata Justin dan Kristen bisa melihat seorang gadis duduk di atas kloset. Ups. Mereka salah membuka pintu, karena yang mereka masuki tadi adalah kamar mandi. Menutup kembali, Kristen kembali menjalajah pintu yang lain, pintu ganda di depannya terkunci, tidak terbuka seperti yang lain. Gumaman makian keluar dari bibir tipis setipis sari apel milik Kristen. Justin yang sudah mulai kesal karena Kristen tidak menunjukkan  tanda-tanda bahwa mereka memiliki privasi mengambil posisi Kristen sebagai guide. Justin menariknya, membawanya ke satu pintu yang berada di sudut. Dan begitu ia membukanya, ia tersenyum puas. Kamar itu kosong.
                Mereka berdua masuk dengan Justin yang menutup pintunya. Langsung saja mereka berciuman panas, saling mengecup, memagut bibir, mengadu lidah. Tangan Kristen sudahd ari awal terselip di rambut-rambut emas Justin, sementara tangan Justin sendiri meremas bokong padat Kristen. Mereka terus bergerak, terus berjalan selangkah-selangkah tak tentu arah. Jemari Justin yang sedari tadi hanya meremas dan bertahan di bokong Kristen, kini bergerak menuju kancing hot pants milik gadis itu. Melepasnya, menurunkan celana Kristen tanpa harus melihatnya. Kristen bisa merasakan celananya turun terjatuh meski matanya memejam dan bibirnya tengan beraktivitas. Ia mengangkat kakinya secara bergantian, keluar dari lubang celananya. Karena kebutuhan libido yang mendesak, Kristen mendorong Justin hingga terjatuh ke ranjang. Mereka merangkak naik hingga ke tengah-tengah ranjang, dan Kristen langsung menduduki tubuh atletis Justin. Tangan lelaki itu membuka bikini Kristen, hingga gadis itu kini setengah telanjang. Dengan asal, ia melemparnya begitu saja entah kemana bikini Kristen. Mengambil kedua tangan Justin, Kristen menempatkan kedua tangan milik seorang lelaki yang tengah di dudukinya pada kedua payudaranya yang kencang. Dan tepat saat Justin menyentuh payudaranya, ia melenguh. Satu desahan keluar. Tubuh Kristen membungkuk, lalu kembali melanjutkan ciumannya dengan Justin. Tangan Justin masih senantiasa berada di kedua payudara Kristen, memilin pusat payudaranya sesekali hingga berubah mengeras, membuat gadis itu tak tahan untuk tidak mendesah.
                Justin tak ingin bahwa lenguhan Kristen hanya sampai disana. Dia menginginkan lebih. Jadi, satu tangannya turun, mengusap dari luar celananya pusat diri Kristen. “Aw, Shh. AH!” desah Kristen saat Justin baru menjelajah. Pinggulnya sedikit di angkatnya sebagai bentuk bahwa ia mulai horny. Tak tahan hanya dengan ciuman, Kristen meraba-raba ereksi Justin yang sudah mengeras seperti pusat payudaranya. Di tekannya, diusapnya, hingga jari-jari Kristen bisa merasakan ada yang menghentak-hentak di bawah sana dalam tempo dua sampai tiga detik sekali. “Oh. Hmm.”
                Jari-jari Justin bergerak makin cepat di bawah sana, hingga sudah banyak lenguh-lenguhan Kristen yang ia dengar. Melepas ciumannya, ia berbisik seksi di telinga Kristen. “You’re already wet, baby.” Gadis itu mengejang kegelian.
                “Yeah. You make it.” Kristen tersenyum menggoda. Dan senyumnya hilang saat ia merasa kedua tangan Justin mengangkat tubuhnya, membaringkannya di sebelah Justin. Kini, Kristen terbaring, dan tanpa tedeng aling-aling, jari-jari Justin melepas satu-satunya yang tersisa di tubuh Kristen, dan membuat gadias itu sepenuhnya naked. Justin merrndahkan wajahnya, lalu menampatkannya di antara paha Kristen. Menciumi keintiman itu dengan bibirnya, dengan lidahnya. Membuat Kristen kembali melenguh, kali ini jauh lebih gila. “Shit! Oh!” pinggulnya menghentak ke atas meraskaan sengatan kenikmatan itu. “Mmm.” Kristen bisa merasakan lidah Justin melesak masuk ke dalam. “Yes, baby. There, there!” Tangannya menekan kepala Justin untuk tetap bertahan disana, memberikannya sengatan lebih. Kristen membasahi jarinya dengan mengisapnya, lalu melatakkannya di clitoristnya, dan menggeseknya. “Oh, mmm. AH!”
                “Oh, GOD!” sekali lagi ia melenguh, menggerakkan pinggulnya, terlihat begitu terlatih dalam hal ini. Justin lalu menjauhkan wajahnya dan menyreingai puas. Ia naik, dan Kristen langsung menariknya dengan liar. Menciuminya penuh nafsu, dengan tangannya yang tak bisa diam, sampai akhirnya ia bergerak melepas celana Justin, begitu pula dengan boxer dan celana dalam lelaki itu, hingga akhirnya mereka sama-sama tak memakai apa-apa. Justin tahu apa yang harus dilakukannya, hingga kini ia mengambil ereksinya, menggesekkannya pada keintiman Kristen, membuat gadis itu mendesah lagi, menahan nafasnya dalam-dalam, menggigit bibir bawahnya, memejamkan matanya. Justin sendiri tidak bisa menahan diri untuk tidak bisa mendesah. “Ohh. Fuck me, baby.” Kristen bisa melihat ereksi Justin terlihat cukup besar dengan urat-urat yang menonjol, dan ujungnya yang berwarna merah muda. Ada sedikit cairan yang keluar dari sana, efek dari terangsangnya mereka. Dan Kristen bisa merasakan tangannya basah karena cairan Justin karena gadis itu juga baru saja memegangnya.
                Justin akhirnya melesakkan ereksinya masuk ke dalam setelah Kristen berpuas diri memainkan ereksinya. Tidak sulit, meski milik Kristen masih rapat. Keintiman gadis itu sudah becek, ditambah lagi ia tidak lagi perawan. Jadi, tidak sesulit seperti melakukannya pada gadis yang masih perawan. Kedua kaki Kristen berpindah mengelilingi pinggang Justin yang tubuhnya bergerak keluar-masuk dengan tempo tidak terlalu cepat. Kristen memejamkan matanya rapat-rapat hingga menimbulkan kerut di sekitar matanya. Mulutnya tak henti menceracau mengeluarkan desah dan beberapa makian kecil. Kuku-kukunya yang berwarna hijau mint, tertancap di punggung Justin, berusaha menahan kenikmatan yang merambatinya.
                Permainan itu berlangsung cukup lama, karena Justin terkadang berhenti menggerakkan ereksinya, membiarkan ereksinya menikmati kedutan dari keintiman Kristen. Lalu mereka berciuman, dan Justin kembali bergerak. Beberapa kali seperti itu, sampai Kristen mendapatkan pelepasannya terlebih dahulu. “Ohhhh. God! Mmhh. Ssshhh.” Ia menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha mengisi paru-parunya. Begitu ia merasa Kristen telah seselesai, barulah gilirannya untuk mendapatkan pelepasannya, ereksinya kembali keluar-masuk beberapa kali, dan akhirnya ia mengeluarkan ereksinya dari keintiman Kristen begitu ia merasa tak tahan. Dan, benar saja, selepas ia mengeluarkannya, Justin mendapatkan pelepasannya, sperma keluar, muncrat dengan warna putih mengenai selangkangan Kristen. Well, setidaknya ia tidak melepasnya di dalam, sehingga tidak perlu terjadi resiko apa-apa.
                Justin beberapa kali mendesah saat ereksinya menghentak-hentak mengeluarkan pelepasannya, dan begitu tak ada lagi yang tersisa, ia berguling ke samping, berbaring di sebelah Kristen yang tampak puas dan terlihat menikmati cairan pelepasanya yang mengalir di selangkangannya. “This is the best I’ve ever done.” Kristen memecah keheningan, setelah kesadarannya sudah mulai kembali. “Thanks, baby.”
****

 Justin, Niall, Cody, Corentin, dan Jai berjalan bersama menelusuri koridor kampus yang agak lengang. Beberapa kelas sedang berlangsung, sementara mereka berlima sendiri memutuskan untuk tidak mengikuti kelas apapun pagi ini. Sisa-sisa pesta semalam masih mereka rasakan. Terlebih Justin. Lelaki itu dapat satu ronde bersama gadis yang ia cintai. Dan rasanya begitu luar biasa. Untuk pertama kalinya, Justin merasakan bahwa melakukan percintaan terasa lebih nikmat, lebih bermakna, lebih berarti, dan tak ternilai ketika ia melakukannya dengan orang yang ia cintai.
                Mereka memasuki kantin. Dan pagi ini tidak terlalu ramai. Mereka lalu duduk di tempat biasa mereka duduk, lalu Cody kembali bangkit berdiri setelah meletakkan ranselnya di sebelah Jai. “Aku coklat panas.” Jai menyerukan pesanannya, bermaksud titip- sekalian. Cody melirik yang lain, selain Jai tentunya. Raut wajahnya seolah berkata ‘kau-pesan-apa?’
                “Burger.”
                “Milkshake coklat.”
                “Susu.” Setelah Justin menyebutkan pesanannya, Cody meninggalkan meja menuju konter kantin. Sementara keempat pria tampan yang duduk di meja itu, tampak bodoh karena hanya diam begitu saja layaknya orang idiot. Mereka tidak memiliki bahan perbincangan apapun, bahkan pesta besar semalam tidak terpikirkan oleh mereka. Well, belum.
                “Man, tidakkah mereka gila?” Niall membuka suara, membuat mereka yang sedari tadi melamun layaknya kambing congek beralih memandang sahabatnya yang bersurai pirang itu. Corentin langsung mengangkat alisnya ke atas, menorehkan kebingungan di wajahnya yang tampan itu.
                “Mereka siapa?”
                “Kristen dan kawan-kawannya, maksduku.” Niall kembali memasukkan potato chip-nya ke dalam mulutnya. “Aku bahkan dapat blow job. God! She’s so professional!” Niall berekspresi begitu luar biasa menunjukkan apa yang didapatnya. Ia terlihat puas, merasa hebat, dan seru –nyaris heboh sendiri.
                Telinga Justin seolah telah di setting untuk selalu sensitive begitu mendengar nama Kristen disebut. Buktinya, dia langsung menolehkan kepalanya dan langsung fokus begitu Niall menyebut nama Kristen tadi. Meski tak ikut ambil bagian untuk menceritakan kisah serunya semalam seperti yang lain, tapi ia menyimak dengan jelas kisah sahabat-sahabatnya.
                Beberapa saat kemudian, Cody datang membawa nampan berisi lima gelas di atasnya. Karena dia bukan pelayan, tentu saja lelaki tampan yang hobi berenang itu tidak menurunkan pesanan teman-temannya. Ia hanya meletakkan nampannya di tengah-tengah, dan membiarkan teman-temannya mengambil pesanannya yang sudah dibawakannya. Lelaki itu mengambil soft drinkanya dari atas nampan, dan menyeruput minumannya lewat sedotan kaku yang panjang berwarna orange. “Kau tidak balas dendam, Jus?” Cody menyahut begitu saja. Seolah ia tahu topic apa saja yang sedang dibahas teman-temannya.
                “Balas dendam apa maksudmu? Tidak ada yang mencari masalah dengan kita.” Justin menaikkan alisnya selama sepersekian detik saat mendengar kata-kata Cody. Lelaki bersurai spike itu tidak mengerti dengan sahabatnya itu.
                “Come on, casanova.” Cody sedikit mendengus sambil memutar bola matanya malas. Tentu saja, bagaimana bisa lelaki setampan Justin kehilangan otaknya? Tapi Justin hanya melipat dahinya semakin bingung.
                Cody membungkuk, merapat pada meja. Tangannya bergerak seperti ‘ayo’, lelaki itu mengumpulkan teman-temannya untuk merapat, mempersempit jarak mereka. Sontak semua membungkuk, merapat pada meja, dan kepala mereka begitu dekat. “Come on boys, pikirkan!” Cody memulai pidatonya, sedikit berbisik, namun penuh penekanan.
                Semua memandangnya bingung, bahkan tak hanya Justin kali ini. “Kau bicara apa, sih?” Corentin menimpali, karena sejujurnya, ia merasa paling tidak mengerti di antara yang lain. Padahal, sama saja.
                “Think about it. Jika para gadis bisa membuat pesta hanya dengan alasan pelepasan perawan, kita harus membalas dengan yang lebih hebat! Jangan mau kalah, man. Mereka bisa mengundang dan membuat pesta seperti itu, kita harus lebih. Yah, anggap saja pembalasan. Kita pamer juga!”
                Niall langsung meng­gebrak meja. “Aku setuju!” serunya kelewat bersemangat, membuat sahabat-sahabatnya yang lain tersontak kaget.
                “Gila!”
                Laki-laki itu hanya nyengir sambil mengguman sorry. “Bagaimana menurutmu, Jus?” Jai yang tidak begitu banyak bicara kali ini membuka suaranya, kembali pada topic yang dibuka Cody dan sedikit dikacaukan Niall. Kepalanya beralih pada sahabatnya yang ia sendiri akui, bahwa lebih tampan darinya.
                Justin bergumam, ia tampak menimbang-nimbang jawabannya. “Siapa saja yang setuju?”
                Niall mengangkat tangannya rendah, disusul Cody dan juga Corentin. “Jai, angkat tanganmu!” Niall menginterupsi sambil mengangkat tangan Jai, agar teracung bersama dengan miliknya. Namun Jai menepis dan melotot pada Niall. “Aku terserah padamu, mate.” Alihnya pada Justin.
                “Hmm. Okay, kalau begitu. Let’s party tonight. Aku juga perlu bertemu dengan gadis itu.”

***

                From: Justin
                08:00 p.m party at my house, babe. Bring your friends too. Also, don’t forget your hot DJ ;)

                Kristen baru saja menerima pesan itu. Matanya yang lentik itu terus mengulang isi pesan itu, sedikit tak percaya. Mereka baru berpesta semalam, dan kali ini ganti lelaki itu yang membuat pesta? Hell. Dalam rangka apa? Kristen menggeleng pelan, pikirannya memberinya jawaban. Tentu saja, untuk lelaki sepertinya, pesta tidak perlu memerlukan sebuah alasan. Kristen rasanya ingin segera keluar dari kelasnya sekarang juga. Namun itu tidak mungkin, karena kelas baru berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Ia mengumpat kecil dengan bibir tipisnya yang dipoles lip balm itu.
                Karena kefokusan dan konsentrasinya terhadap kelasnya telah buyar, Kristen memutuskan untuk tidak menyimak dosennya. Percuma, batinnya. Ia merebahkan kepalanya di atas meja, dan meletakkan satu tangannya di bawah kepala guna sebagai bantal, lalu terlelap. Ia tidak peduli lagi pada kelas yang mendadak mengesalkan ini.
                “Kristen. Wake up!” suara itu sedikit-sedikit menyusup ke gendang telinganya. Lalu suara tepuk tangan yang ringan terdengar olehnya juga. “Kristen!” Sedikit-sedikit ia merasa tubuhnya digerakkan, digoyangkan. Bibir tipisnya mengerang sedikit, dan kelopak matanya yang tersapu eye shadow warna hitam dan juga silver terbuka. Retina matanya butuh beberapa detik untuk kembali mendapat fokusnya.
                Wajah Mary adalah wajah pertama yang ia lihat begitu ia sepenuhnya sudah bangung dari tidurnya. Gadis itu mengubah posisinya menjadi bersandar pada kursinya. “Oh.” Keluhnya. “Bagaimana  bisa kalian disini?” Well, mungkin Kristen belum sepenuhna sadar. Nyatanya, ia mampu melontarkan pertanyaan bodoh macam itu. Iris matanya memandang tiga sahabatnya bergantian.
                “Berapa lama kau tertidur?” Olivia melipat dahinya, bertanyan keheranan. Tentu saja, gadis macam Kristen jarang kehilangan kewarasannya. Tapi kali ini? Oh, ya ampun. Apa hanya dengan tidur gadis itu bisa begitu bodoh? Okay, mungkin Kristen sedang ceroboh. Atau, terlalu menikmati tidurnya.
                “Aku tidak tahu. Mungkin cukup lama.” Gadis itu kembali menguap lebar, lalu meraih tasnya. “Come on.” Mereka berempat lalu keluar dari kelas Kristen, entah tujuan mereka kemana kali ini. Koridor-koridor kampus tengah ramai, karena kelas sepertinya memang tidak lagi ada. Dan saat Kristen mengintip melalui jendela di koridor, ia melihat semburat oranye membentang di langit. Gadis itu langsung membelalak, seolah baru saja ditampar oleh musuh besarnya. “Oh. My. Lord. Jesus. Christ!” pekiknya tanpa ampun dan membuat seisi koridor memusatkan perhatiannya pada Kristen. Ia meletakkan kedua tangannya di kepala dan memasang wajah super terkejutnya.
                Gadis itu terlihat sama sekali tidak peduli pada atensi-atensi yang memandangnya penuh tanya. Ia masih dengan keterkejutannya. “What happen, Kris?” Nora meremas bahunya pelan memandangnya terkejut, bingung, bercampur panic. Perlahan gadis itu mulai merilekskan tubuhnya yang menegang dan kembali mengatupkan bibirnya yang sedari tadi agak terbuka.
                “Aku lupa memberitahu kalian. Justin mengadakan party di rumahnya. Dan kita diundang, Pen juga. Acaranya jam delapan. Seharusnya kita mulai siap-siap sekarang.” Kristen mengeluh, kali ini mereka kembali berjalan, dan atensi-atensi yang tertuju padanya jumlahnya mulai berkurang. Gadis itu mengeluh dengan penyesalan. Yah, sebagai ratu pesta, itu mungkin bisa dimaklumi.
                “Oh, ghost, Kris. Bagaimana bisa kalu melupakan party gebetanmu sendiri?” Mary ikut-ikutan mengeluh. “Okay, sekarang sebaiknya kita pulang, dan aku akan menjemput kalian, dan juga Pen. Jam delapan. Bye!” Gadis itu lantas mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya, menunjuk sahabatnya secara bergantian, lalu berlari keluar dari kampus. Tentu saja dia harus bersiap-siap. Dia harus kelihatan mempesona, bukan?

***

                Kristen, seperti biasa, terlihat seksi, tapi tak murahan. Gadis bertubuh ramping itu mengenakan hot pants jeans-nya, high heels setinggi tujuh centi, kemeja yang agak kecil bermotif kotak-kotak warna biru-putih yang tak dikancingnya. Ya, menampakkan siluet tubuhnya dan juga branya. Gadis itu mengambil botol perfume-nya, lalu menyemprotkannya pada leher dan juga pakaiannya. Baru saja meletakkan kembali botol perfume-nya, suara klakson mobil milik Mary telah terdengar. “Oh, tepat sekali!” gumamnya sendiri. Gadis itu langsung segera turun, berlari kecil-kecil keluar dari rumahnya yang megah. Ia tak perlu berpamitan pada siapapun, karena tidak ada yang harus ia pamiti. Orang tuanya seperti biasa, tidak di rumah karena terlalu sibuk. Hanya ada nanny-nya yang sialan itu dan juga adik kecilnya. Jadi, ia berpamitan atau tidak, itu tidaklah diperlukan.
                “Hai, girls.” Sapanya ramah sambil masuk ke dalam mobil Mary, lalu menutup pintu mobil Mary. “Well, jadi aku yang terakhir?” Kristen menukas sambil membenahi rambutnya, dan secara perlahan Mary kembali melajukan mobilnya.
                “Ya, begitulah.” Mary menyahut senang. Perasaan gadis itu sedang ringan sekarang. Pesta semalam bersama dengan teman Justin terasa menyenangkan. Dan malam ini, mereka akan kembali mengulangnya.
                Sepanjang perjalanan, mereka asik mengobrol mengenai model yang menjadi cover majalah Nylon edisi minggu ini. Tidak jauh-jauh darisana, masalah mode jadi perbincangan mereka juga. Penelope menceritakan hunting sepatunya siang tadi. Obrolan mereka terus mengalir sampai mereka tiba di pekarangan rumah Justin. Sebenarnya, obrolan mereka belum resmi selesai. Kau tahu, para perempuan bisa menghabiskan waktu yang lama hanya untuk cuap-cuap. “Here we go.” Ujarnya memandang megah rumah Justin. Seulas senyum merekah di wajah Kristen yang dipoles make-up natural.
                Bahkan dari pekaranganpun, telinga para gadis itu bsia menangkap suara music, suara pesta, suara teriakan, suara gumaman, ya, semua yang berbau pesta. Termasuk alkohol dan ekstasi. Mungkin ini akan jadi malam yang panjang. Mereka berlima lantas melangkah semakin mendekat pada pintu rumah Justin yang terbuka. Cahaya-cahaya lampu sorot menyambut mereka saat mereka masuk. Banyak teman-teman kampus lelaki itu yang sudah berpesta. Kristen melihat ruang tamu Justin beralih fungsi sebagai tempat lomba minum. Satu gallon berisi beer di letakkan di atas sebuah lemari dalam posisi miring. Lubang gallon tersebut di tutup dengan selang yang sudah dimodifikasi menjadi bercabang. Teman-teman Justin dibawah sana, berjumlah lima orang saling bertarung sejauh mana mereka kuat menghabiskan isi beer tersebut. Beberapa orang di belakang mereka menyoraki mereka.
                Kelima gadis itu bergerak semakin masuk dan mendapati ruang santai rumah lelaki itu berubah menjadi tempat menghisap shisha. Olivia tampak ingin bergabung, namun ia menahan diri sejenak karena harus menunjukkan wajahnya dulu ke depan seorang yang sudah mengundang mereka. Dan, mungkin ia bisa mengajak Jai bergabung dengannya. Mereka berada di ujung rumah Justin. Dapur. Hanya tersisa halaman belakang rumah lelaki itu. Well, terlihat lebih ramai daripada di dalam karena halaman rumah Justin lebig luas dari rumah Bri. Ada kolam renang juga. Kristen melipat dahinya selama beberapa detik, sedikit bingung karena tak menemukan DJ dimanapun. Tapi suara music terdengar begitu menggelegar di sini.
                “Hai, babe!” suara Justin memecah keramaian pesta. Lelaki itu bersama Corentin dan juga Cody menggila di atas meja makan. Mereka hanya mengenakan boxer seperti yang terjadi di pesta Bri. Justin memegang piala berisi beer, sementara Cody dan Corentin memegang masing-masing satu botol beer. Di bawah mereka, sekelompok yang terlihat haus belaian tampak seperti memuja mereka. Namun sorakan mereka terhenti seketika saat Justin berteriak seperti mereka. Atensi gadis-gadis itu bergnait dari tiga lelaki tampan di atas meja pada lima gadis yang terlihat fashionable.
                Mereka memandang Kristen dan yang lain penuh ketidak sukaan, yang dibalas dengan death glare  dari Kristen. Mereka tidak terlalu memusingkan itu sebenarnya. Hanya saja, Kristen merasa panas mendapati lelaki yang menempati hatinya kini dikerumuni gadis-gadis jalang. Well, setidaknya itulah anggapan Kristen mengenai gadis-gadis itu. Alih-alih membalas sahutan Justin, Kristen tersenyum pada Justin lalu mendekat. “Thanks for the invitation, Justin.” Mary mewakilkan sahabat-sahabatnya, mengucapkan rasa terimakasihnya.
                “I just do what I have to do.” Justin tersenyum, lantas melompat turun. Isi dalam pialanya tumpah membasahi tubuhnya, namun ia terlihat tidak peduli. Corentin dan Cody juga ikut melompat turun. “Come on, Jai dan Niall disana.” Mengambil tangan mulus Kristen, mereka menuju halaman belakang rumah Justin. Jumlah lampu sorot lebih banyak daripada yang di dalam rumah. Di sudut kanan, ada sebuah trampoline yang cukup besar. Banyak perempuan asik berpesta dengan gila melompat-lompat. Jai ada disana. Tanpa tedeng aling-aling, Olivia langsung melepaskan diri dan bergabung bersama lelaki itu.
                Niall sendiri sudah di dalam kolam, bersama beberapa gadis yang mengelilinginya. Air setinggi dadanya menutupi tubuh telanjangnya. Tapi, bukan itu yang membuat Mary sampai menganga dengan tatapan sedikit marah dan juga memasang tampang marahnya. Masalahnya ada pada para gadis itu. Mereka tidak memakai atasan apapun. Hanya celana dalam. Sekali lagi ditegaskan, tidak. Memakai. Atasan. Apapun! “Niall!”
                “Hai, baby.” Niall tersenyum lebar, sambil menggerakkan tubuhnya meliuk mengikuti music. Lelaki itu tampak tak menyadari bahwa Mary menatapnya kesal.
                Mendengar lelaki itu menggumam baby pada Mary, Kristen melipat dahinya. “Baby? Memang kau pacaran dengannya?”
                “Sepertinya, ya.” Bukan sahabatnya lah yang menjawab. Melainkan lelaki yang merangkul padanya, Justin.
                “Kau tahu, eh?”
                “Mereka sudah blow job. Dan Niall anti melakukannya dengan sembarang gadis. Jadi kesimpulannya , mungkin memang mereka sudah berpacaran.”
                Kristen menganga. “What the. Mary bahkan tidak menceritakan apa-apa padaku!” Kristen mendengus kesal. Sementara itu lelaki di sebelahnya hanya tertawa renyah. Tawa yang begitu mempesona.
                “Oh, sorry, Mary. Read the sign, please.” Justin kembali menyahut, menyela sahabat gadisnya yang akan menjatuhkan diri ke dalam kolamnya. Tangan yang terbungkus tato itu terangkat ke udara menunjuk sesuatu.
                Mary yang mendengar kata-kata Justin, menoleh singkat padanya, lalu memindahkan pandangannya pada sebuah kayu di depan kolam. Terpeta jelas di kayu itu satu kalimat. Only for naked girls. Kristen ikut membaca, dan terlihat sedikit terkejut. “Oh, persetan!” Mary memaki kecil, melepas dress-nya, lalu melepas pula branya. Hanya celana dalam berwarna ungu yang kini di kenakannya. Gadis bertindik di pusar itu lantas melompat masuk ke kolam, menyingkirkan gadis-gadis yang mengelilingi Niall dan memberi mereka satu tatapan membunuh.
                “Kau yang membuat tanda itu?” tunjuk Kristen pada kalimat yang tertera di kayu yang baru saja jadi topic merek.
                “Well, bukan aku. Tapi kami, kami berlima.”
                “Boys.” Kristen mendengus sambil memutar matanya yang lentik malas. Lelaki di sebelahnya kembali terkekeh. Tangannya tak dilepaskannya melingkar dari pinggangnya.
                “It works, babe.” Justin nyengir, membuat Kristen mau tak mau ikut tertawa kecil melihat wajah senang itu. Ia mengacak rambut Justin gemas. “Okay, let’s get some drink.” Tangan lelaki itu kembali mengamit jemari gadisnya lantas membawanya kembali masuk ke dalam rumah. Mereka mendekati kulkas di dapur rumah Justin, lalu mengeluarkan satu botol beer yang langsung dibukakan Justin untuk Kristen.
                “Thanks.” Gadis itu menarik sudut bibirnya, melengkungkan satu senyuman yang manis. “Jadi, ini hanya sekedar pesta atau…?”
                “Hanya sekedar pesta, tentu saja.”
                Kristen manggut-manggut mengerti. Mereka berjalan kembali ke halaman belakang rumah Justin sambil sedikit-sedikit meliukkan badan mereka, mengikuti music. “Daritadi aku mendengar suara music. Tapi, dimana DJnya?”
                Justin mendongakkan kepalanya, menghadap ke balkon rumahnya. “There.” Ia tersenyum sambil mengangkat tangannya, menyapa sang DJ. Sang DJ yang tengah sibuk mengatur music sambil mengapit headphone di telinga kanannya dengan bahu membalas dengan senyuman dan alis yang terangkat.
                “Tempat yang bagus untuk menempatkan seorang DJ.” Lelaki itu hanya tersenyum, lagi. Mereka lantas bergabung dengan yang lain, ikut berpesta ria. Kristen ingin ikut masuk ke dalam kolam, namun Justin melarangnya. Entah kenapa.
                Kegilaan mereka terus berlanjut hingga pukul dua belas malam. Suara gedebum music masih terus mengalun, meski sudah sebagian dari mereka tak sadarkan diri karena alkohol. Mereka tergeletak begitu saja tanpa aturan. Tak peduli yang dihadapannya kaki siapa, atau apapun. Mana bisa mereka berpikir demikian sementara kesadaran mereka sudah entah berada dimana tempatnya.
                Kristen memandang teman-teman Justin yang sudah tepar dengan sempoyongan. Ya, gadis cantik kita yagn satu ini juga sudah mabuk berat. Tanpa ekstasi, tentu saja. Lelaki di sebelahnya selalu berusaha menjaganya. Itu juga alasan mengapa ia melarang gadis itu untuk tidak masuk ke dalam kolam. Ya, Casanova itu sedang menjaganya. Lelaki tampan itu tidak bisa membiarkan tubuh gadis itu dilihat oleh teman-temannya. Mereka tidak punya hak sama sekali untuk melihat tubuh Kristen secara lebih. Hanya dia yang memiliki hak atas itu. Egois, memang. Tapi, bukankah cinta begitu?
                “Okay-okay, baby. Kita masuk ke dalam kolam. Tapi tidak kolam yang ini, okay?” Justin berusaha menenangkan Kristen yang sedari tadi menceracau tak jelas, dan berusaha menjatuhkan dirinya masuk ke dalam kolam. Namun, mana bisa seorang permepuan mengalahkan kekuatan laki-laki? Okay, mungkin bisa. Tapi tidak untuk ukuran Kristen-Justin. Ya, Justin menahan tubuh gadis itu.
                Lelaki itu dengan kesabaran membawa Kristen menuju kamarnya, menaiki satu-satu tiap anak tangga rumahnya yang megah. Menopang tubuh gadis itu, menuntunnya. Sampai ia berhenti di depan pintu kamarnya yagn dicat berwarna putih. Di lantai dua ini, music terdengar lebih keras dari yang di bawah. Temannya, yang bertugas sebagai DJ malam ini ada di balkon rumahnya yang jaraknya tidak begitu jauh dari kamarnya. “Come on, sweetheart.” Justin membuka pintu kamarnya dengan satu tangannya, lantas memapah Kristen sampai jatuh di ranjangnya. Lelaki itu lantas kembali menuju pintu kamarnya dan menutupnya.
                “Dimana… kolamnya?”
                “Come on.” Justin membawa Kristen menuju satu pintu di sebelah lemari pakaiannya, yang adalah kamar mandinya. Ada satu bathup yang berukuran besar, dan lelaki itu langsung mengisinya dengan air hangat.
                Gadis itu buru-buru melepas pakaiannya, dan langsung masuk ke dalam bathup. Justin enggan ketinggalan, jadi lelaki itu melakukan hal yang sama dan ikut masuk ke dalam. Kini mereka berdua sama-sama hangat. Terlebih lagi pelukan yang sedang mereka rasakan.
                “Oh, ini benar-benar nyaman.” Kristen sedikit kembali menemukan kewarasannya. Ya, air lumayan membantunya. Kepalanya bersandar pada bahu Justin, dan merasakan tangan Justin bermain pada rambutnya.
                “Ya, lebih nyaman, lebih tenang, dibanding di luar, bukan?” Justin bisa merasakan gadis itu mengangguk dalam dekapannya. “Kris, ada yang ingin kutanyakan.”
                “Silahkan.”
                “Apa permainan kita masih berlaku?”
                “Tentu saja.” Rasanya jantung saat itu juga seperti dihantam keras-keras, dibanting, dijatuhkan dari ketinggian yang terkira. Ada rasa sesak dan sakit yang langsung menyerang dadanya detik itu juga. Tanpa jeda beberapa detik setelah jawaban itu meluncur dari bibir Kristen. Kecewa mulai menghampirinya, namun lelaki itu tampak masih ingin menjaga jarak dengan kecewa. Tidak mungkin seburuk itu, pikirnya. “Kau tahu bukan, ini sudah berjalan well, mulai lama. Dan kita tidak pernah membicarakannya.” Justin berusaha mengeluarkan suaranya sebiasa yang ia biasa. Ya, mungkin sedikit menutupi kecewa dan sesaknya. Oh, keterkejutannya juga.
                “Kau benar. Tidak ada yang mengaku cinta di antara kita. Kupikir aku bisa meluluhkanmu.” Kau memang sudah, Kris. Justin menjawab, dalam hatinya. Ia masih ingin mendengar apa yang gadis itu katakan.
                “Aku pikir aku juga bisa meluluhkanmu. Tapi sepertinya tidak begitu.” Rasanya bagi Justin, sekarang ia tengah menelan pil pahit. Lebih pahit dari beer, vodka sekalipun. Entah mengapa otaknya mendadak melintaskan kalimat itu, dan memerintahkannya untuk mengucapkannya. Sepertinya kenyataan ini tidak seperti yang Justin harapkan. “Jadi, pernahkah kau lupa bahwa apa yang terjadi di antara kita bukanlah sebuah permainan?”
                Mungkin ini saat yang tepat, bagi mereka untuk mendewasakan diri dengan saling bertukar pikiran mengenai mereka masing-masing. Lagipula, Kristen sudah cukup sadar untuk bisa diajak bicara. “Tentu, aku sering melupakan itu. Aku seperti benar-benar merasa memilikimu, terkadang.”
                “Terkadang?”
                “Ya, ketika pada akhirnya aku ingat ini semua hanya permainan.” Kristen tersenyum kecut, menyembunyikan hatinya yang mulai agak nyeri. Setidaknya kali ini dia tidak berbohong, meski dia juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Dia memiliki prinsip.
Justin menghela nafasnya, dan Kristen bisa merasaan pergerakan dada Justin yang naik-turun. “Bagaimana jika kita lupakan permainan ini?”
Gadis itu tersentak mendengar kata-kata lelaki yang tengah memeluknya begitu nyaman. Merasa bahwa perbincangan kali ini benar-benar serius dan harus face to face, Kristen melepaskan pelukannya. “Maksudmu?” ia memasang wajah bertanya −penuh tanya, malah.
Justin tidak segera menjawab. Ia kembali menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya secara halus sambil merapikan rambut Kristen, menyelipkan rambut Kristen yang setengah basah ke balik daun telinganya. Lantas, tangannya yang kokoh dan terbungkus tattoo itu memegang kedua lengan Kristen. Ia tidak menatap betapa sekal dan indahnya payudara Kristen yang tergantung tanpa tertutup apapun di depannya. Ia tidak sedang memiliki pemikiran kotornya, atau hormonnya yang bekerja. “Jadi, aku mencintaimu, Kristen Fletcher.”

***

                Lelaki dengan surai spike itu termangu memandang kosong kantin. Ia tidak memiliki apa yang disebut sebagai ‘semangat’. Hidupnya benar-benar berubah semenjak pernyataannya perasaannya pada Kristen minggu lalu. Hatinya hancur. Untuk kali ini, ia bisa mencintai dengan sesempurna itu. Tapi kenapa ia bahkan tak bisa meraihnya? Kejadian di kamar mandi kamarnya kembali berputar ulang, seolah sengaja ditampilkan untuk mengingatkannya bagaimana luka itu tercipta.
                “Kau bilang apa?” Kristen terlihat tidak memercayai kata-katanya barusan, dan memutuskan untuk menajamkan pendengarannya, takut-takut jika ia salah dengar.
                “Aku mencintaimu, Kristen. Don’t you get it? Aku kalah, sekarang. Dan permainan ini usai, bukan?” Justin sedikit mengerang frustasi. Ia tidak tahu harus mengucapkannya bagaimana, dan rasanya ia tidak bisa sabar untuk mengucapkan itu, dan mendengar apa yang akan Kristen katakan padanya. Ia yakin, Kristen memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
                “Ya, permainan ini usai sekarang. Dan kau kalah, Justin.”
                “Yeah, whatever. Apa jawabanmu?” Justin mendadak terkejut, karena Kristen bangkit berdiri, dan mengeluarkan tubuhnya dari bathup. Gadis itu memungut pakaiannya secara asal, dan segera memakai kemejanya. “Wait, Kris. What are you doin’? You don’t even answer my question.” Reflek, Justin mencekal tangan itu, dan ikut keluar dari bathup. Ia tidak mengerti, dimana masalahnya sekarang? Dimana kesalahannya?
                Kristen kian tergesa mengancing kemejanya. Ia tidak peduli apa ia mengenakan branya atau tidak. Yang ia tahu, ia hanya ingin cepat keluar dari rumah Justin. Ia tidak bisa melakukan ini lagi. atau, semua ini lagi. “I can’t, Justin. This is just a game. Sorry.”
                “What?!” Lelaki itu tampak percaya, mengucap kata itu begitu terkejut dan sedikit marah. “Kau tak bisa melakukan ini, Kris. Aku sudah jatuh cinta padamu! Kau sudah membuatku jatuh cinta! Hal tersulit yang pernah terjadi dalam hidupku. Selama ini aku membentengi diriku dengan baik, dan kau datang, merubuhkannya begitu saja. Dan inikah akhirnya?” Justin menyusul, mengejar Kristen yang kini mulai beranjak meninggalkan kamarnya. Pertengkaran mereka mendapat sedikit sorotan oleh teman-teman Justin yang kebetulan sedang di dalam rumahnya.
                Mereka kini menuruni anak tangga, dan Justin mengejarnya. “Say something!” Lelaki itu menyahut lagi, berusaha memancing gadis yang tengah disusulnya untuk membuka suara.
                Begitu mereka tiba anak terakhir di lantai dasar rumah Justin, Kristen memutar tubuhnya, menghadapi sepasang iris caramel yang mengkilat marah, kecewa, terkejut, dan terluka. Kristen menarik nafasnya dalam-dalam, memegang jemari Justin, menatapi jari-jari itu, lantas kembali memandang mata yang selama ini membuatnya merasakan cinta. “Maaf. Tapi aku, tidak memiliki tempat untuk seorang playboy.” Kalimat itu lantas membuat Justin membatu. Ia tidak bisa bereaksi. Otot-ototnya mendadak kaku, dan ia sudah seperti patung Sphinx sekarang. Berdiri di tempatnya tanpa bisa melakukan apapun. Bergerak saja sulit. Oh, jangankan bergerak. Bernafas saja, Justin mendadak lupa bagaimana caranya. Ia hanya bisa melihat gadis itu berlalu dari hadapannya, entah kemana, lalu mendadak lewat di hadapannya lagi. Ya, hanya lewat. Beberapa detik kemudian, pendengarannya yang tajam bisa mendengar bahwa sebuah mobil baru saja melaju. Dan ia bisa meyakini bahwa mobil itu dikendarai oleh Kristen.
                “Kau tak bisa seperti ini terus, mate.” Niall baru saja menepuk bahunya, menyadarkannya dari luka hatinya. Ya, dari kejadian yang membuat hatinya tak berbentuk. “Honestly, sulit dipercaya pada akhirnya kau jatuh cinta pada Kristen dalam permainan yang kau terima.” Imbuhnya lagi. Kali ini Niall tidak terlihat cengengesan seperti biasanya. Ia ikut simpati pada keadaan sahabatnya yang sedang galau parah.
                “Kau tidak coba menghubunginya?” Corentin menyahut sambil menyodorkan pada Justin coke. “Minumlah. Dunia tetap berputar sekalipun kau patah hati.”
                “Thanks, man.” Hanya itu yang bisa Justin ucapkan. Ia tidak ingin sahabat-sahabatnya mencampuri kehidupan pribadinya. Namun bagaimanampun, ia tetap membutuhkan mereka untuk menghiburnya. Sekalipun pesimis, ia tetap realisitis. Mungkin cintanya gagal, tapi hidupnya tidak berhenti hanya karena cintanya. Jari-jarinya yang baru saja ditatonya dua hai lalu merogoh saku celananya dan mengetikkan pesan singkat yang entah sudah ke berapa ratus untuk Kristen.

                To: Kristen
                Pick up the phone. We need to talk. Please, Kris.

                Sent.

                Justin mendesah. Ia tak mengerti kenapa semua harusa usai hanya karena ia mengakui perasaannya. Apa yang salah hanya dengan bersikap jujur? Ataukah benar kata semua orang bahwa jujur mendatangkan kehancuran? “Enough. Aku benci melihat sahabatku sendiri seperti ini.” Jai bangkit berdiri, membuat Justin dan sahabatnya yang lain memerhatikannya. “Kau harus memperjuangkan perasaanmu. Tidak peduli berhasil atau tidak, setidaknya kau memperjuangkan sesuatu yang layak untuk kau dapatkan.”
                “Caranya?” Cody menimpali sambil tetap mempertahankan atensinya pada Jai.
                “Ingat bahwa beberapa hari lagi kampus kita akan menggalang dana untuk Philipina?”
                Corentin mengangguk mengerti. Begitu pula dengan yang lain. “So?”
                Jai mendengus. “Kita bisa ikut berpatisipasi pada malam penggalangan dana. Bukankah banyak donator yang diundang? Kita bisa mengundangnya, dan kita buat satu pernyataan.” Bola matanya secara bergantian memandang sahabat-sahabatnya, mengumumkan idenya. “Mate, ingat lirik yang kau tunjukkan padaku tiga hari yang lalu? Kita bisa menggunakan itu. Bukankah kau membuat lagu itu untuknya?”
                Justin yang sedari tadi menyimak, kini tersenyum merekah. Ia bangkit berdiri dan langsung memeluk Jai. “I love you, bro.” tangannya yang kekar lantas menepuk-nepuk bahu Jai.

***

                From: Justin
                Ini pesan terakhirku, aku janji. Bisakah kau datang pada malam penggalangan dana di kampusku? Aku mohon, Kris.

                Kristen baru mendapatkan pesan itu dua menit yang lalu. Dan gadis itu sudah tiga kali mengulang membaca isi pesan itu. Ia tidak bisa menjadikan Justin sebagai kekasihnya meskipun ia mencintainya. Prinsipnya yang kuat membuatnya tak bisa goyah. Ya, Kristen Fletcher memiliki prinsip yang kuat yang sulit dipatahkan. Meskipun ia harus melukai hatinya sendiri.
                “Kau tidak bisa selamanya menghindar, Kris. Terimalah kenyataan bahwa kau mencintainya juga.” Apa yang selama ini Nora takutkan terjadi. Mantan kekasih dan sahabatnya jatuh cinta. Well, bukan masalah besar sebenarnya, hanya saja ia terlalu mengerti bagaimana watak seorang Kristen. Ini justu pada akhirnya merugikan keduanya.
                “Jadi aku harus bagaimana?” Kristen memelas. Ia tidak terlihat ceria. Berita mengenai kandasnya kedekatannya dan Justin telah tersebar luas. Dan mereka sebagai pihak yang hanya tahu, menggosipkan mereka. ‘sayang sekali’ begitu kata mereka.
                “Kenapa tidak kau datang saja? Aku yakin Justin memiliki maksud sesuatu. Dan kalau kau masih bersikeras menolaknya setidaknya dia tidak akan mengganggumu lagi, bukan?”
                “Kris, kau tidak perlu membawa kami ke Miami dengan pantai terbaiknya. Cukup dengan kebahagiaanmu, kami akan senang.” Mary memeluknya, mencoba mengerti perasaannya. Berbagi pelukan, Mary tahu sahabatnya membutuhkan seseorang untuk tempat bersandar.
                “Thanks, girls.” Kristen menyeka air matanya yang jatuh, lantas menghela nafasnya berat.

***

                Keempat gadis itu terlihat elegant malam ini. Di balut gaun malam yang tidak terlalu terbuka, mereka terlihat cantik, tak terlihat liar sama sekali. Mereka memasuki aula kampus Justin dengan hak tinggi yang menghias kaki mereka. Banyak tamu undangan yang telah datang tampak duduk di bangku tamu. Sebagian berdiri mengambil minum yang letaknya di sisi-sisi ruangan. Beberapa orang lalu lalang dengan baju berkerah bertuliskan ‘Crew’. “Cukup ramai.” Olivia menggumam, berusaha mencari aktivitas untuk mereka berempat.
                “Hei, girls.” Cody datang dari arah tenggara mereka lalu menghampiri mereka dan menyapanya. Satu senyuman terulas di wajahnya, membuatnya jauh lebih terlihat tampan. Apalagi tuxedo yang dikenakannya malam ini.
                “Hai.” Nora menyapanya, mendaratkan bibirnya di pipi Cody, mencium lelaki yang kini tengah dekat dengannya.
                “Hai, Cody.”
Cody kembali mengulum senyumnya. “Jangan terlalu tegang, Kris. Tenang, dia ada di backstage. Aku kemari untuk memastikan kalian datang.”
Kristen hanya bisa nyengir, merasa sedikit bersalah. Gadis itu lantas berusaha rileks dan menikmati acara penggalangan dana malam ini. Sejujurnya, ia ingin bertemu Justin. Menemukan wajah lelaki itu dalam pandangannya, berusaha melepaskan rindu yang membelenggunya hingga menyiksa. Tapi tentu saja prinsipnya akan memerangkapnya tetap dalam jarak. Jadi meskipun ia tegang, ia juga menantikan wajah itu muncul dalam hadapannya. “Kudengar kalian ikut terlibat.” Kristen tidak terlalu pandai berubah rileks jika kondisinya tidak membuatnya nyaman. Jadi, ya. Seperti inilah. Terlihat kikuk dalam balutan gaun malamnya yang elegant. Aneh, sebenarnya.
                “Ya, kami berlima. Sebentar lagi giliran kami.” Cody kembali tersenyun, tak terlihat nakal, tak terlihat liar, tak terlihat malas, dan hal buruk lainnya. Ia terlihat rapi, bermatabat, dan tegas dalam balutan formalnya.
                “Kalau begitu, sebaiknya kau bersiap.” Nora menimpali dengan senang. Ia tidak mau suasana berubah menjadi kaku, tegang ataupun sedih. Ini harus bisa jadi penghiburan juga, setidaknya.
                “Baiklah. Aku kembali ke belakang dulu. Nikmati acaranya, girls.” Cody pamit permisi untuk kembali pada teman-temannya. Tubuh tegap itu berbalik, lantas menghilang di telan kerumunan.
                “Ayo, kita cari tempat duduk.” Olivia mengajak semuanya untuk duduk. Setidaknya mereka tidak berdiri diam saja begini.
                “Tidak. Aku mau tetap berdiri saja.” Kristen menolak. Gadis itu merasa duduk hanya akan semakin membuatnya tak nyaman. Pasalnya, tempat duduk terletak dekat dengan panggung. Itu berarti jaraknya dan Justin semakin dekat. Dan ia tak ingin Justin menemukannya meskipun lelaki itu dirinya hadir disini.
                “Baiklah.” Olivia mengalah. Ia enggan memperburuk suasana hati Kristen yang sudah buruk.
                Mereka berlima kini hanya memerhatikan panggung dan diam membisu. Begitu penampilan dance dari group yang entah siapa namanya selesai, tangan-tangan halus mereka bertepuk tangan, memberi apresiasi atas penampilannya. “Okay, and now, please welcome, X Boys.” Sang host, kembali membuka suaranya dari tepi panggung, membacakan penampil selanjutnya. Dibalut tuxedo, sang host tersebut turun dari atas panggung, dan sekelompok pemuda yang sudah begitu dihafal Kristen naik ke atas panggung. Mereka bersiap dalam posisi mereka. Menduduki tempat duduk untuk drummer, memakai gitar dan bass, dan berdiri dibalik piano. Satu orang laki-laki berdiri dibalik penyangga mic sambil memegang mic, menunduk sebentar.
                “Good evening.” Sapanya sopan pada para tamu. Ia mendapat perhatian secarah utuh dari para tamu yang datang, terlebih Kristen. Lelaki itu tampan dengan dasi hitam, kemeja putih dan jas yang dikancing rapi berwarna hitam. “Kami X Boys, dari jurusan musik. Malam ini kami turut berpatisipasi dan berharap acara malam ini sukses.” Ia tersenyum, dan berhenti sejenak. Lantas kembali membuka suaranya. “Lagu ini, kami ciptakan tiga hari yang lalu. Untuk seseorang, tentu saja. Aku mengundangnya malam ini. So, Kristen Fletcher, this is for you.” Justin menoleh ke belakang, memberi kode pada Cody, dan lelaki itu mulai memetik gitarnya. Satu melodi yang lambat mulai terdengar, dan dilanjutkan oleh tabuhan drum.
                “Girl you don’t know how I feel.” Justin memejamkan matanya, mulai melantunkan lagu yang ia buat atas rasa sakitnya. Lagu yang ia ciptakan diatas luka atas nama Kristen. Mendengar baru satu baik Justin menyanyikannya, Kristen menutup bibirnya yang tersapu lipstick merah. Gadis itu terperangah, terlihat tak percaya.
                “How I really feel.” Niall, sebagai penyanyi latar menyahut sambil tetap memainkan gitarnya, seirama dengan Cody.
                “Since you been away. Oh, baby. Any chance that you could take my call.”
                “Take my call.”                                                                                                                         
                “If I got you today.” Kristen terasa seperti diiris. Hatinya perih dan ada rasa yang rasanya sulit diungkapkannya. Rasa bersalah, rasa rindu, rasa cinta, rasa sakit, semua berbaur jadi satu sekarang. “You say that you don’t wanna talk but it’s cool. I’ve been thinking about you all day long, hoping you pick up your phone. And I know that I don’t wanna lose your love, oh baby.” Tak tahan menahan yang dirasakannya, Kristen mulai meluncurkan air matanya. Segalanya bagai sesuatu yang tak terkatakan dan membuatnya gila. Perasaan ini, nyanyian Justin, dan kenangannya.
                “Oh girl I got a secret place that we can go. ‘Cause girl I really wanna be alone. And baby nobody else gotta know. Just meet later on the low. Don’t tell me you’re my heartbreaker. ‘Cause girl my heart is breaking. Don’t tell me you’re my heartbreaker. ‘Cause girl my heary is breaking.”  Nora mendekat Kristen kuat-kuat. Ia bisa merasakan kesedihan gadis itu sekarang. Ia mengerti bagaimana rasanya. Justin terlihat begitu tulus dan benar-benar menyanyikannya dari hati, hingga luka itu seolah terpancar darinya. “Girl you see me standing here. Standing in the rain. Any chance that you could stay right here and never go away. You say that you don’t wanna talk but it’s cool. I’ve been thinking about you all day long. Hoping you pick up your phone. And I know that I don’t wanna lose your love, oh baby.”
                Kristen menangis terisak. Tak ada yang menyadari bahwa gadis itu menangis selain kawan-kawannya. Well, beberapa orang memperhatikan, namun lantas mengacuhkannya. Justin sendiri tidak terlihat menyadari keberadaan Kristen. Ia hanya tahu bahwa itu harus tersampaikan agar gadis itu mengerti perasaannya. “Oh girl I got a secret place that we can go. ‘Cause girl I really wanna be alone. And baby nobody else gotta know. Just meet later on the low. Don’t tell me you’re my heartbreaker. ‘Cause girl my heart is breaking. Don’t tell me you’re my heartbreaker. ‘Cause girl my heary is breaking.”
                “So what I’m really trying to say is, and what I hope you understand is despite of all the imperfections of who I am I still wanna be your man. I know it hasn’t been easy for us to talk with everyone being around. But this is, this is personal, this is for me and you. And I want you to know that I still love you. And I know the seasons may change. But sometimes love goes from sunshine to rain. But I’m under this umbrella and I’m calling your name. And you know I don’t wanna lose that. I still believe in us.”  Kau masih percaya pada ‘kita’, Justin? Kristen hanya mampu menangis dengan hatinya yang berbicara. Ia menjerit di dalam sana. Namun tenggorokannya mengunci semua suaranya. Ini rasa sakit paling menyakitkan yang pernah ia rasakan. Kenapa ia harus menyerah pada prinsipnya? Tapi pikiran-pikiran pada dampak yang akan terjadi terus berdatangan masuk ke dalam otaknya, membuatnya tak mampu mematahkan prinsipnya.
                “I still believe in love. I still believe in us. I hope you believe in love. The way I believe in us. You don’t see. ‘Cause what you don’t see, is when we don’t speak. I really don’t sleep, I wanna talk to ya. And if I had the world in my hands I’d give it all to ya. I wanna know if you feeling the way that I’m feelin’. I wanna know if you feeling the way that I, the way that I.”
                “You told me to be careful with your heart, your heart. You told me to be careful with your heart, your heart. Be careful with your heart.” Dentuman suara drum, pada akhirnya menyelesaikan lagu itu. Sontak seluruh tamu memberi satu tepuk tangan meriah. Namun Kristen tidak. Tangannya masih mendekap Nora, berusaha menahan nyeri yang dirasakannya.
                “Kristen, you there?”
                “….”
                
-THE END-

Komentar

  1. A world class casino - goyangfc
    The world-class 바카라 양방 배팅 casino 먹튀신고 offers the best in 토토 배당률 gaming, from slots and live dealer table games to all the action! GoyangC offers the best 메이플 슬롯 강화 slots, roulette, craps, 룰렛

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer