HIDUP DALAM TERUNGKU
HIDUP
DALAM TERUNGKU
R A E N I S S A
Aku heran, mengapa ia memandangiku
seperti itu? Ia selalu memandangku aneh. Apakah aku aneh? Lelaki itu adalah
lelaki terpopular di sekolahku. Sudah 3 semester aku dan dia berada di kelas
yang sama. Aku tahu, aku ini memang tidak menarik sama sekali. Aku memiliki
rambut panjang hitam, dan bola mata hitam yang sempurna pula.
Sejujurnya,
laki-laki itu merupakan teman masa kecilku walaupun aku bertemu dengannya
sebentar saja. Saat ia terjatuh dari pohon, lucu mengingat kenangan itu. tetapi
hanya itu, tidak lebih. Seumur hidupku, hanya saat itulah aku berbicara
dengannya, saat aku berumur 12 tahun. Aku memiliki 10 jari kaki, 10 jari
tangan, 2 lengan, 2 kaki, darah mengalir, 2 mata yang berkedip, dan 2 telinga
yang terbuka. Aku apa adanya. Aku normal. Tapi, selama 3 semester aku merasa
diriku aneh akibat tatapan lelaki itu. lelaki yang sangat populer di sekolahku,
Arga Bimantara.
Apakah aku aneh?
Semua orang memandangku seolah aku alien
atau mungkin mereka menganggapku buruk rupa. Apakah aku aneh?
Aku tidak pernah
berbicara kepada siapapun kecuali guru di sekolah. Teman saja, aku tak punya.
Sakit hati memang. Tapi apakah aku salah hidup di dunia? Arga. Lelaki itu baru
saja sampai di sekolah. Kakinya dibalut sepatu sneakers hitam, berjalan melewati koridor yang ramai. Arga
mempunyai wangi yang khas, parfumnya tidak sama dengan teman-temannya. Karena
wanginya yang begitu khas, tanpa perlu tahu siapa yang datang cukup dengan
mencium wanginya, anak-anak di sekolahku bisa mengetahui kalau dia datang.
Ku lihat Arga berjalan gontai, sangat
malas. Rambutnya tak henti jadi korban kemalasannya, karena diacaknya terus
menerus. Berpenampilan rapi bukanlah dirinya. Sepatu hitam, celana sekolahnya
yang agak melorot, kemeja putih yang dikeluarkannya dari dalam celananya, dasi
sekolah yang simpulnya kendur, jaket baseball yang menutupi kemejanya, tindik
hitam kecil di telinga kiri, serta rambut yang berantakan. Dia terlihat
awut-awutan.
Tapi, siapa pula yang mau berurusan
dengan anak nakal seperti Arga? Seluruh sekolah tahu siapa dia. Anak bandel
yang paling sulit diatur. Terkadang membuat onar, mengerjai temannya, mengejek
anak yang lain dan menyindir siapapun yang dirasanya memiliki sesuatu untuk di bully.
Seperti
aku contohnya. Arga bahkan menyuruh seluruh anak-anak yang lain untuk
menjauhiku. Dan kalau ada yang ketahuan berbicara padaku, Arga tak segan-segan
akan menghukum siapapun orang yang berani membantahnya. Aku memiliki 1 kepala,
1 hati. Aku juga dapat berpikir dan aku menghirup udara yang sama dengan mereka
semua. tapi kenapa mereka menindasku dengan tatapan mata yang mengatakan kalau
aku adalah gadis aneh atau bahkan lebih buruk dari itu.
Aku memperhatikannya dari balik lokerku.
Arga bahkan tak menatapku sama sekali padahal loker kami hanya berjarak 4 loker
dari tempatnya. Arga membuka lokernya, dan setumpuk sampah langsung keluar jauh
berhamburan. Tapi, dia tak peduli. Ku lihat Arga hanya mengambil satu buku
sejarah untuk kelasnya pagi ini, lalu menutup lokernya dan menguncinya. Aku
melakukan hal yang sama. Setelah mengambil buku sejarahku, aku mengunci
lokerku. Dapat ku lihat Arga sedang memandangku dengan sinis. Aku meneguk air
ludahku, jantungku berdebar kencang karena lelaki itu memandangku seakan ingin
membunuh.
“Lo-“ ucapnya. “Bereskan ini. Buang
sampahnya.” Titahnya begitu saja. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Arga
melangkah pergi dari lokernya. Aku pun memungut sampah Arga yang berhamburan di
lantai koridor kelas dan semua anak yang berada di tempat ini, menertawaiku
seolah aku ini adalah sampah.
***
Pagi, mendung, angin sejuk adalah
perpaduan yang menyambut kedatangan Akina di sekolah ini. Berbeda dari kemarin,
Akina sudah menyiapkan mental sekuat baja untuk menghadapi usilan dan kata-kata
sadis dari teman-temannya. Mau bagaimana pun mereka berbicara, menghina,
mengoloknya, Akina akan berdiri sekuat baja. Tidak akan dibiarkannya setetes
air mata terlihat di wajahnya, seperti hari-hari sebelumnya.
“Selamat pagi anak-anak, sebelum kita
berdoa, Ibu ingin memberitahukan sesuatu,” kata Bu Nora sambil meletakkan buku
cetaknya di meja. “Kelas ini akan kedatangan murid baru. Pindahan dari
bandung.”
Sekelas langsung berdesis ribut begitu
mendengar ada murid baru, terutama cewek-cewek, mereka sibuk melongok ke pintu
dan jendela untuk melihat siapa murid barunya.
“Baik, Nak Alvaro, silahkan masuk.”
Tak lama, seorang cowok tinggi
berperawakan tegap masuk ke dalam kelas. Matanya cokelat, rambutnya dibuat
model jambul. Penampilan yang cukup membuat anak cewek langsung senyum-senyum
menunjukkan tampang centilnya, berusaha cari perhatian.
“Selamat pagi.” sapanya.
“Iya, silahkan perkenalkan diri, Nak.”
Alvaro mengangguk, “Nama saya Alvaro
Haling, bisa dipanggil Varo. Saya asal dari sulawesi utara. Tapi saya bersekolah
di Bandung sebelumnya, lebih tepatnya SMA Harapan Bangsa,” jawab Alvaro yang
membuat anak-anak cewek tersenyum kecuali Akina.
“Statusnya apa?” celetuk salah satu anak
cewek, “Single dong!”
“Iya, puji Tuhan saya memang masih
jomblo,” Tawa anak cewek meledak mendengar jawaban Alvaro. “Kalo mau minta
nomor saya, nanti aja ya,” ucap Alvaro menawarkan diri.
Celetukannya dibalas dengan sorak-riuh,
sampai Bu Nora menyerngit dibuatnya.
“Ya sudah, Ibu kira cukup perkenalannya.
Kamu duduk di ...” Bu Nora mengedarkan pandangannya ke sepenjuru kelas, “di
belakang, di samping Akina. Di paling pojok,” telunjuk Bu Nora terarah ke kursi
Akina yang sebelahnya kosong. Akina tersentak kaget, dilihatnya Alvaro
tersenyum lebar dan segera berjalan menuju ke kursi sebelahnya. Baru kali ini,
Akina mendapat teman sebangku selama 3 semester.
“Untunglah duduknya sama cewek.” katanya
Alvaro tiba-tiba. Akina menoleh, namun ia tak menjawab. “Alvaro,” Alvaro
menjulurkan tangannya, namun Akina hanya menatap tangan itu tanpa menunjukkan
niat untuk membalasnya. Akina langsung membuang muka ke depan.
“Jangan dekat-dekat dia. Nanti lo ikutan
kayak dia lagi, anak-“ Arga yang duduk di depan Akina menoleh ke belakang,
berbicara dengan nada tak senang. Akina hanya tertunduk dan berani memandang
Arga. Arga tak melanjutkan kata-katanya.
“Anak apa?” tanya Alvaro.
“Ntar juga lo tau,” jawabnya enteng lalu
berbalik lagi ke arah depan. Alvaro menyerngit heran, tak tahu apa yang Arga
bicarakan.
***
Alvaro melangkah masuk ke dalam gerbang
sekolah, dengan headset di kepala dan permen karet yang masih dikunyah di
mulut. Sejujurnya, sekolah ini tak memperbolehkan siswanya memakan permen
karet, namun Alvaro sangat nekat melanggar peraturan itu. Empat hari Alvaro
menjadi murid baru di SMA Budi Mulia, sudah banyak orang yang bisa menebak
karakternya. Santai, selalu tebar pesona, dan tak akan keberatan memuji cewek
yang lewat di depannya.
Alvaro
meletakkan tasnya di kursi dan memajukan tubuhnya ke depan. “Celetuk,” Alvaro
membuat balon dengan permen karet di mulutnya dan meledakkan balon itu tepat di
telinga Akina, teman sebangkunya. “Pagi, Princess,”
Alvaro merentangkan tangannya. Akina menatap dengan sinis. Sebenarnya, dia
ingin berteman dengan cowok ini. Namun, dia tak mau terjadi apa-apa pada
Alvaro, kalau saja nanti Arga tahu Alvaro mengajaknya mengobrol.
“Jangan ganggu gue, mending lo pergi.” jawab Akina datar.
“Semalem, gue dapat kabar kalo tetangga
gue meninggal, padahal masih muda, masih 17 tahun. Baru aja kelas 3, dia
meninggal karena kecapekan.” celotehnya tidak penting.
“Pergi,”
“Padahal dia janji mau ngajak gue
keliling Jakarta, tapi takdir emang gak ketebak ya?” Alvaro melanjutkan
celotehannya yang menurut Akina tak penting.
“Terus maksud lo apa cerita gini ke
gue?”
Alvaro tersenyum samar, “Sseorang yang
menghabiskan sedetik dalam hidupnya untuk cemberut dan marah-marah itu adalah
orang yang gak bersyukur dan menghargai hidup. Waktu lo bangun di pagi hari, lo
sadar gak sih ada orang yang justru memejamkan mata untuk selamanya dan gak
bisa bangun lagi? Dan sewaktu lo cemberut gitu, lo sadar gak sih berapa detik
yang udah lo buang sia-sia karena melewatkan detik yang sebenarnya lo jalani
dengan happy?”
Akina meneguk ludahnya. Perkataan Alvaro
menohok hatinya begitu saja mengingat ia memang selalu berdiam diri, cemberut,
menyesali hidup karena semua orang di sekolah menjauhi dirinya. Semangatnya
untuk hidup bahkan hilang, dia hendak menyerah dengan semua nya.
Sejak dulu, Akina bukanlah anak pintar.
Akina tak pintar matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau apapun yang
berbau akademik. Tapi walaupun begitu, ayah Akina tidak pernah memaksa Akina
untuk mendapatkan nilai yang besar.
“Yang
terpenting dalam hidup itu adalah bagaimana cara kamu menghargai orang lain,
menyebarkan kebahagiaan untuk orang-orang di sekitar kamu. Papa gak butuh kamu
nilai besar, cukup jadi Akina yang bisa buat orang-orang tersenyum itu udah
buat Papa bangga, nak.” Kata-kata yang selalu Akina ingat
sampai sekarang; tapi kenyataannya dunia selalu memberikan hal-hal yang
berbanding terbalik. Akina tidak pernah mengejek orang lain, tidak pernah
berkata sesuatu yang menyakitkan, tapi kenapa manusia justru tidak pernah
memberikan hal timbal-balik? Itu mengapa Akina menyukai kesendiriannya. Tidak
masalah jika Akina dibenci oleh sejuta manusia, tidak masalah walaupun ia tak
disukai banyak orang, yang terpenting jangan sampai dia membenci dirinya
sendiri dan juga orang lain.
Arga menyerngit, memerhatikan adegan
mengganggu di hadapannya. Arga meletakkan tasnya di atas meja, “Kalo niat lo ke
sekolah cuma buat duduk, apa fungsi lo sekolah?” Arga menyekakmat Akina, mata
tajam itu terpancang lurus pada gadis berambut hitam di depannya. Akina yang
sadar sindiran itu untuknya mengangkat wajahnya namun ia tak berani berkutik.
Karena, kalau saja sepatah kata keluar dari mulutnya, Arga akan menghajarnya
habis-habisan.
“Lo ngomong ke siapa?” tanya Alvaro
mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Arga tak memperdulikan pertanyaan
Alvaro. “Apasih yang lo bisa? Hampir di semua pelajaran lo remed semua. Nilai
paling besar paling lo cuma dapat enam. Sekali lagi gue tanya, apa motivasi lo
untuk tetap percaya diri untuk sekolah?” entah atas dasar apa Arga tiba-tiba
berkata seperti itu. Tapi jelas dari sorot mata Arga, ia sangat tidak menyukai
Akina.
“Emangnya nilai besar itu menjamin
seseorang pinter?” Alvaro langsung menengahi. “Siapa tahu ada orang yang dapat
nilai besar tapi dia melalui proses instan, nyontek atau nyalin. Lagian nilai
bagus nggak menjamin seseorang bakal sukses ke depannya, kan? Banyak hal nggak
penting yang di lakuin di sekolah, kita terpaku sama paradigma bahwa nilai
bagus berarti pinter. Dan murid dituntut sempurna di semua mata pelajaran,
padahal satu guru juga cuma ngajar satu pelajaran. Coba lo kasih guru
matematika ke pelajaran kesenian, gue yakin tuh guru juga nggak bakal bisa
jawab. Jadi, wajar kalau murid gak menguasi semua secara baik, bahkan banyak
pelajaran yang justru gak kepake sama sekali waktu nanti kita dewasa.” Alvaro menjawab
dengan panjang lebar. Akina terbelalak mendengar jawaban Alvaro yang membuat
Arga tertohok. Akina melotot melihatnya namun satu yang tak bisa dipungkiri
kalau gadis itu tersenyum akhirnya.
“Lo bawa masalah buat semua orang di
sekitar lo,” Arkan berbisik tepat di telinga Akina. Dia mendengus sebal
mendengar jawaban Alvaro yang menohoknya. “Lo emang sialan,” lanjutnya lalu
Arga melangkah untuk keluar dari kelasnya.
***
“Tiap orang pasti punya alasan
tersendiri untuk ngebenci seseorang,” tukas Akina tiba-tiba. Ia mengikuti Arga
yang sedang berjalan di lapangan basket menuju parkiran. Arga menoleh ke arah
suara itu. Ia tersenyum meremehkan. “Dan gue pengen tau, apa alasan lo ngebenci
gue?” teriaknya. Arga tak memperdulikan Akina dan melanjutkan langkahnya.
Sekolah sudah sepi. Hanya mereka berdua yang berada di sini sekarang. “Apa gue
pernah dengan sengaja nyelakain lo? Apa kebodohan gue di kelas merugikan lo?
Apa gue pernah ngelakuin sesuatu dalam hidup lo?” Akina menyerbunya tanpa
ampun, napasnya naik-turun, darahnya berdesir hebat.
Arga menghentikan langkah lalu
membalikkan tubuhnya. Ia mendengus sebal. “Semuanya! Gue gak suka semuanya dari
lo, termasuk keberadaan lo di sekolah. Lo, parasit.” Jawaban Arga sungguh
benar-benar di luar logika. Akina meneguk ludahnya, “Lo-lo bener-bener,..”
kehilangan kata-kata, seperti dikurung dalam terungku di sebuah kapsul pengap,
membuatnya sulit bernafas. “Cowok brengsek.”
“Baguslah. Jadi, lebih baik lo pergi
dari hadapan gue. Kalau perlu, lo mati sekalian.”
Akina memejamkan matanya, mencerna
kata-kata Arga baru saja. Ia mengepalkan tangannya, dan bulir-bulir air mata
sudah membanjiri matanya. Baru kali ini, dia nangis di hadapan Arga, orang yang
sangat membencinya. Akina berlari meninggalkan Arga sendirian di lapangan
basket. Matanya memerah, bibirnya masih gemetar. Akina tak menyangka kalau Arga
mengatakan itu.
***
“Akina, lo suka sejarah ya?” tanya
Alvaro menyelinap antara sela-sela udara malam balkon rumah Akina. Kepalanya
menatap Akina. Akina menyuruh Alvaro untuk datang ke rumahnya. Saat ini, tak
ada orang yang bisa diajaknya berbicara kecuali Alvaro, murid baru di kelasnya.
Hanya Alvaro, satu-satunya laki-laki yang mau berbicara, membela Akina di depan
Arga.
“Suka. Gue suka baca mitologi Yunani.”
Akina menjawab cepat.
“Di mitologi Yunani, lo suka sama
siapa?”
Akina menatap langit malam yang dihiasi
bintang-bintang. Ia menghela nafasnya pelan. “Gue suka puteri Andromeda.”
“Serius?” Alvaro membulatkan matanya, “Gue
juga! Bokap gue suka dongengin tentang puteri Andromeda, puteri yang berasal
dari kerajaan Ethiopia, anak dari Cafeus dan Cassoipea. Puteri Andromeda
terlahir cantik dan kecantikannya itu membuat Ratu Cassoipea bangga padanya.”
“Hingga pada suatu hari, Ratu membuat
kesalahan. Dia mengklaim dirinya lebih cantik dari pada Nereids, Puteri Dewa
Laut Poseidon,” lanjut Akina menyambung cerita Alvaro. “Karena itu, Poseidon
marah dan mengirimkan ombak besar ke pesisir pantai Ethiopia untuk
menghancurkan kerajaan, dia juga mengirim monster laut yang kejam. Cuma ada
satu cara memenangkan diri dari Poseidon, yaitu mengorbakan puteri Andromeda.
Dengan kebaikan hati sang puteri, akhirnya puteri bersedia dirinya diikat batu
karang menunggu sang monster laut datang membunuhnya.”
Kedua sudut bibir Alvaro terangkat,
“Lalu, datang seorang pemuda gagah bernama Perseus dan menyelamatkan puteri
Andromeda. Karena kisah keberanian, pengorbanan, kecantikan dan kebaikan
hatinya puteri Andromeda diabadikan jadi rasi bintang yang bisa dinikmati oleh
seluruh penjuru dunia.” sahut Alvaro menyudahi ceritanya.
Akina
tersenyum getir. Cewek itu menarik napasnya dan kembali mengembuskannya.
“Jangan-jangan Perseus itu adalah gue,
yang datang menyelamatkan elo. Terus..” Alvaro berpikir sejenak. “Puteri
Andromeda itu adalah elo, dan Monster lautnya itu adalah Arga, gila! Pas
banget!”
Akina
menatap Alvaro geli, senyumnya kembali terlihat. “Trims Var,”
“Buat?” Alvaro mengangkat alisnya.
“Karena udah buat gue ketawa,”
“Gue heran kenapa Arga selalu aja buat
lo nangis. Lo ada masalah? Dan kenapa seolah-olah semua orang di sekolah
membenci elo?” Alvaro tampak ingin tahu. Namun Akina tak kunjung menjawab.
“Gapapa kok kalo lo belum mau ngasih tau, tapi ingat gue selalu berada di sisi
lo. Intinya, lo harus semangat buat ngadepin Arga, Kin. Jangan pernah buat dia
nyaci maki elo lagi. Jangan pernah menyerah, oke?”
Sejenak mereka terdiam di tempat
masing-masing. “Lo pernah dengar istilah serendipiti?” Alvaro bertanya lagi.
Akina menggeleng, “Enggak. Kenapa?”
Alvaro tersenyum simpul, “Serendipiti
itu berarti kebetulan. Kebetulan yang terjadi tanpa di duga. Bisa juga dibilang
sebagai wujud dari hukum timbal-balik.”
“Maksudnya, Var?”
“Bokap gue sangat tergila-gila dengan
Kahlil Gibran. Ada satu buku Kahlil yang selalu bokap gue kasih ke gue,
judulnya The Prophet, tiap hari gue disuguhin supaya dibaca dan kutipannya ada
yang menarik, bunyinya gini ‘Jangan mengundang makan orang kaya ke rumahmu. Kau
akan dibalas dengan undangan makan ke rumahnya. Undanglah orang miskin untuk
makan ke rumahmu. Mereka tidak bisa membalasmu, maka alam yang akan membalasmu.
Dan bila alam membalasmu, maka tunggulah datangnya keajaiban...”
“Hubungannya sama serendipiti apa?”
Akina memasang tampang bingung.
“Begini, maksudnya tuh. Sewaktu kita
melakukan kejahatan terhadap orang lain yang mampu membalas dengan kejahatan
kita, maka nanti kehidupan yang akan membalasnya dengan kejahatan yang
setimpal.”
“Kalau emang hukum timbal-balik itu ada,
kenapa justru ada orang-orang yang merasa hidup ini gak adil?”
“Hidup ini adil, Kin. Tinggal persepsi
tiap orang aja gimana mau nanggepinnya. Menganggap kebetulan-kebetulan yang
terjadi dalam hidupnya sebagai hasil dari kumpulan-kumpulan perbuatan yang
sudah dia tanam. Hidup ini kayak cermin, dia merefleksikan apa yang sudah kita
lakuin ke orang-orang. Kalau ada orang yang matahin semangat lo, percaya aja,
walaupun lo gak bisa membalasnya.” Alvaro meletakkan telapak tangannya di
punggung tangan Akina. “Maka serahkan pada alam yang nanti bakal melaksanakan
hukum timbal baliknya.”
Akina menghela nafasnya panjang, ia tak
habis pikir Alvaro sebijak ini. Akina semakin termotivasi akan kata-kata Alvaro.
Ia tak bisa putus asa. Alvaro adalah satu-satunya orang yang dimilikinya saat
ini. Jadi, mulai hari ini tak ada kata menyerah.
“Aneh sih, serasa gue hidup di negeri
dongeng dan gue benci dongeng.”
“Kenapa lo ngebenci dongeng?”
“Kenapa ya?” Akina berpikir sejenak,
“Mungkin karena dongeng selalu menawarkan akhir yang bahagia di akhir cerita,
sedangkan lo tahu sendiri. Dalam hidup, happy
ending itu gak ada. Selalu ada ujian, selalu ada hambatan, selalu ada
rintangan. Kayak gue contohnya. Hidup gue kayak di terungku Var. Gue hidup di
penjara. Orangtua gue gak ada lagi, bahkan gue hanya mikir, kalo orang yang gue
punya satu-satunya cuma elo. Hanya lo yang bisa buat gue semangat menjalani
hidup.”
Alvaro mengangguk setuju. “Kehidupan tanpa
ujian, hambatan dan rintangan itu bukan hidup namanya, Akina. Kayak sayur tanpa
garam, hambar. Mungkin belum saatnya lo rasain, Kin. Nanti, bakal ada waktunya.
Dan ingat, hidup lo gak kayak di penjara selagi gue masih tetap berada di sisi
lo. Semangat! Gue yakin, Arga bakal menyesal membenci cewek sekuat elo.”
Jackpot Slots Casino: The Best Online Casino Site - ChoGro
BalasHapusLooking for the best 카지노 online casino site? ChoGamings 인카지노 offers everything you need to know about the top online casino 바카라 sites. This website is built around only the