Heartfull (Justin Bieber Fanfiction)

HEARTFULL (SEQUEL OF HEARTBREAKER)

Happy reading.

                When you love someone, fight for what you feel.

                Tidak ada yang berubah dari hubungan mereka. Perjuangan Justin di atas panggung dua minggu lalu juga nyatanya tak membuahkan hasil. Seolah hati Kristen sudah membeku secepat itu. Benarkah demikian? Lelaki berparas sempurna itu masih tidak mengerti dengan semua ini. Dengan semua yang ada pada diri Kristen. Mendadak Kristen seperti soal matematika yang membutuhkan penjabaran rumit dan tak bisa dipecahkannya. Hanya hal tertentu dari kejadian itu yang bisa Justin pahami.  “Aku mengerti sekarang.” Lelaki itu mendadak bertutur demikian, membuat sahabat-sahabatnya yang akhir-akhir ini jauh lebih sering menemaninya mengangkat alis.
              
“Mengerti apa?” Niall terlihat penasaran. Jus jeruknya baru saja tandas. Lelaki itu baru saja melempar gelas plastic itu masuk ke dalam tong sampah. Ya, mereka sedang berjalan-jalan dalam artian yang sesungguhnya. Berjalan dengan kaki mereka. Angin musim gugur kembali berhembus sedikit meninggalkan hawa dingin selama beberapa detik. Musim panas telah berakhir satu minggu lalu.
                “Kristen memberikanku satu pelajaran.” Niall kian menarik alisnya ke atas. Lelaki itu terlihat bingung, sementara Corentin, Cody, dan Jai hanya menyimak tanpa memasang air muka apapun. “Tidak semua yang kuinginkan bisa kudapatkan.” Justin lantas mendesah.
                “Kita duduk dulu.” Cody menunjuk sebuah bangku taman yang cukup panjang. Well, setidaknya tiga di antara mereka bisa duduk. Cody, Niall, Justin menduduki bangku itu sementara Niall dan Jai tetap berdiri. Mereka bersandar pada lampu taman yang berdiri di sebelah bangku itu. Di belakang mereka ada taman kecil berbentuk segitiga dan dikelilingi oleh pagar besi bercat hitam. “Mate, kalau menurutku, begini. Kau bukan tidak bisa mendapatkan semua yang kau inginkan. Itu tergantung usahamu. Dan menurutku, kau belum cukup berusaha. Perempuan itu seperti kegiatan tarik-ulur sebuah tali. Terkadang kita harus mengulurnya dan membiarkan dia menariknya, dan terkadang kita harus menariknya karena dia mengulurnya. Ketika dia mengulur talinya dan kau tidak menariknya, done. Kalian selesai. Dan saat ini, kau diposisikan untuk menjadi seorang yang menarik tali.”
                Justin mencoba memahami kalimat Cody. Jadi, apakah dirinya seorang penarik sekarang? “Aku mengerti. Tapi bagaimana jika Kristen tidak mengijinkanku menariknya? Maksudnya aku menarik, dan dia menarik. Bagaimana tali itu?”
                “Bayangkan saja lomba tarik tambang. Tidak akan ada yang menyerah sampai salah satu dari kalian menarik lebih keras dan membuat lawan kalian melepas tarikannya. Itu yang harus kulakukan, menurutku.”
                “Kau tahu, perempuan memang kadang tak bisa dimengerti. Berjuanglah selama kau ingin berjuang. Jangan patahkan keinginan yang kau miliki. Tapi, jika dia membuat lukamu semakin parah, berarti Kristen memang tidak ditakdirkan untukmu sejak awal.” Jai yang kini menyahut, well, dia hanya membagikan pengalaman pribadinya saja, sebenarnya. Lelaki itu dulu juga sempat bernasib sama dengan Justin. Jadi, ya. Dia benar-benar seberapa down­nya.
                Justin mendecak, mengacak rambutnya frustasi. “Tidakkah kalian mengerti? Aku bukan seperti kalian yang sudah jatuh cinta berulang kali. Aku hanya pernah jatuh cinta satu kali, dan ini kedua kalinya. Aku tidak berpengalaman. Yang aku tahu, ketika aku mencintainya, aku sulit melepaskannya. Aku kesulitan mengatur perasaanku, man. Dan ini membuatku gila!” Lelaki itu rasanya ingin berteriak keras-keras meluapkan kekesalan dan emosi yang terpendam di dalamnya. Namun, tentu saja ia tidak benar-benar melakukannya.
                “Nah!” Corentin menjentikkan jarinya. “Kau sudah memiliki jawabanmu, mate! Lantas kenapa tetap mempertahankan galaumu? Kau sudah mengerti apa yang kau inginkan, kalau begitu, kejar keinginanmu!”
                Niall kembali menegapkan tubuhnya, lalu duduk nyelip di antara Justin dan Cody. Tangan kekarnya terulur merangkul bahu sahabatnya. “Jus, kau tahu aku memang childish. Tapi, ini masukanku untukmu. Hanya mengingatkan. Sebelum kau memperjuangkannya, pikirkanlah apa dia pantas untuk kau perjuangkan atau tidak. Kami lebih baik melihatmu galau seperti ini daripada galau di kemudian hari dengan kasus yang lebih mengenaskan.”
                Justin hanya bisa mengulum senyumnya. “Thanks, guys.” Jauh di dalam lubuk hatinya, ada rasa syukur yang tak terkatakan. Rasa syukur karena memiliki sahabat yang begitu luar biasa mengerti keadaannya. Setidaknya, ini sedikit mengobati lukanya. Ia tidak sendiri. Ia memiliki sahabat-sahabat yang mendukungnya. Rasa itu membuatnya bertahan.
                Mereka berlima lantas kembali melangkah di antara daun-daun maple yang mulai berguguran. Di antara sorenya langit yang berangin, di antara rasa persahabatan dan cinta mereka. Persahabatan selalu terasa indah ketika menemukan tempat yang untuk berbagi dalam segala hal, tak peduli bagaimana keadaan saat ini.

***

                The past isn’t always beautiful. It’s a lot of pain and nightmare. Sometimes, trauma is part of someone’s past.

                Kristen masih bertahan dengan prinsipnya, meski sahabatnya sudah berusaha menghancurkan pertahanan itu. Bagaimana tidak, gadis cantik yang selalu dipuja itu kini terpuruk. Hanya karena seorang playboy. Setidaknya, itu yang ditanam Kristen di dalam otaknya. Justin. Adalah. Seorang. Playboy. Sahabat-sahabatnya tak habis pikir, bagaimana bisa ada orang yang begitu keras seperti Kristen? “Enough, Kris. Biar kuberitahu kau sesautu.” Olivia lantas menarik tangan Kristen yang terbungkus sweater studded. Mereka berdua beranjak naik menuju atap gedung kampus. Ya, hanya ada mereka berdua karena Mary dan Nora sedang memiliki kelas.
                Angin sore musim gugur terasa lebih kencang di atas sini. Wajar saja, senja sudah hampir tenggelam. Hanya sisa-sisa semburat jingga yang masih menggantung di langit. Rambut Kristen yang coklat bergoyang diterpa angin. Begitu pula dengan rambut hitam milik Olivia. “You only live once. Siapa yang dulu memberiku, Mary, dan Nora kata-kata itu? Kau, bukan?”
                Kristen teringat tahun pertamanya kuliah. Ia, Mary, Olivia, dan Nora berkumpul karena meja kantin penuh. Mereka lantas menyadari bahwa mereka cocok satu sama lain saat mengobrol, dan memutuskan untuk berkumpul bersama lagi. Dari sanalah mereka dekat, dan perlahan berubah menjadi liar karena Kristen menyatakan satu kalimat saat itu. “You only live once, girls. Come on, selagi kita masih muda. Kau akan menyesal jika tidak pernah melakukannya.” Buliran Kristal bening itu meluncur jatuh keluar dari manik matanya.
                Ya, akhir-akhir ini Kristen yang ceria dan menyenangkan tak lagi terlihat. Tergantikan oleh sosok Kristen yang menyedihkan dan pendiam, sungguh perbedaan yang drastis. “Kau bilang, asalkan kita senang, kita bahagia, kita akan melakukannya. Kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita akan jadi gadis yang dipuja-puji, yang dielu-elukan, yang akan mendapatkan apapun yang kita inginkan dengan mudah. Kemana prinsip itu? Kemana kata-kata itu? Kau tidak membuktikannya, Kris!”
                Kristen mendadak seperti ditampar. Kata-kata Olivia terasa mengguncang emosinya. Ia berpaling secepat mungkin memandang Olivia yang tak sedikitpun menatapnya. Ia mengusap kasar bulir air matanya, memandang Olivia geram. “Bukankah selama ini kita bersenang-senang?! Kita mebuat tattoo, kita merokok bersama, kita melakukan segalanya bersama-sama! Aku membuktikannya!”
                Olivia kini ikut memalingkan wajahnya, memandang Kristen juga. Satu senyum sarkastik terpasang di wajahnya. “So, why don’t you do it for this time, Kris?”
                “I can’t! don’t you understand?!”
                “Understand what?! Your fucking unimportant rules?”
                “What?!” Kristen memekik. Ia tidak terlihat percaya dengan kata-kata sahabatnta barusan. Rasanya seperti ditampar saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Olivia. Bagaimana bisa sahabatnya sendiri berkata demikian?
                “Yeah, Kris. Why don’t you just forget that idiot rules? It doesn’t really serious too!” Olivia siap. Ia tidak masalah jika harus berargumen dengan sahabatnya sendiri, asalkan sahabatnya bisa menyadari hal yang dilakukannya itu adalah tak berguna.
                Kristen tampak kian terisak. Air matanya sudah banjir, membanjiri wajahnya, jatuh meleleh melukiskan aliran kecil seperti anakan sungai. Ia memijat pelipisnya, memandang Olivia frustasi. Ya, gadis itu mungkin sedang berada di puncak kekuatannya menahan kegilaannya, menahan frustasinya. “I wish I could if that way could be so fuckin’ simple!” Kristen seperti kehabisan kata-kata. Ia seperti tak tahu lagi bagaimana cara menyampaikannya. Ia bingung harus dengan cara yang bagaimana. Mungkin kata orang-orang memang benar. ‘Sometimes, you just can’t tell anybody how you really feel. Not because you don’t know why, not because you don’t know your purpose, not because you don’t trust them, but because you can’t find the RIGHT WORDS to make them UNDERSTAND.’
                “Then, make it simple!”
                Kristen mengerang kesal. Sampai kapan Olivia bisa berhenti mendesaknya dan berbalik mendukungnya? Atau setidaknya, gadis itu bisa mengerti keadannya. Tapi, tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi jika Kristen tidak menjelaskannya. Tapi, ini rumit, seperti membuka lagi satu pikiran yang tak ingin dibukanya. Satu pikiran yang sudah terkubur begitu dalam. Satu pikiran yang adalah kenyataan. Satu pikiran yang ingin dilupakannya, satu pikiran yang ingin dihindarinya, namun tak bisa. “Kau tahu itu, Liv! Sampai kapanpun aku tidak mungkin dengan seorang playboy!”
                “What’s wrong?! You’re a player, he’s a player, you both are player! Kau tahu bahwa banyak yang menyukai hubunganmu dengannya!”
                Kristen kian menggila. Ia menjerit, sedikit histeris dengan derai air mata yang kini jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. “Ayahku seorang player! Dalam satu minggu dia bisa berganti beberapa wanita! Tidakkah kau mengerti?! Ibuku meninggal karenanya! Kau pikir karena apa aku lantas membenci rumahku dan selalu senang jika tidak ada orangtuaku?! Ayahku bercerai delapan kali! Kau mau tahu berapa ibuku, Liv?! SEPULUH! Satu ibu kandung, dan DELAPAN MANTAN IBU TIRI, dan SATU IBU TIRI SAH!” Kristen butuh obat penenangnya. Inilah yang tidak diketahui sahabat-sahabatnya. Kehidupan kelam keluarga Kristen. Kehidupan yang selalu dibencinya, namun diharapkannya –tapi tak terwujud−. “Bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku terhadap seorang player?! Aku rusak untuk membuat ayahku sadar dengan apa yang dilakukannya! Aku liar untuk membuatnya kesal! Jadi, bagaimana bisa kau menyuruhku berpacaran dengan seorang player, hah?! Kau tidak pernah tahu posisiku!”
                Kristen sejujurnya benci harus mengakui, membuka lukanya yang selalu ingin ia matikan, selalu ingin ia tutup rapat-rapat. Tak peduli jika harus sakit asalkan luka itu mampu tertutup. Tapi, hidup tidaklah demikian. Dan gadis itu sekarang limbung, kenyataan yang membuatnya terpuruk itu kini terasa menghimpit dadanya keras-kerasnya, menghimpit saluran pernapasannya, menghimpit kepalanya. Yang bisa dirasakannya saat ini hanyalah rasa kaku pada jari-jarinya, dadanya yang bergerak naik-turun dengan cepat, oksigen yang semakin menghilang, kepala yang pusing, dan pandangan yang kian mengabur. Yang bisa ia lihatnya saat itu hanyalah, siluet singkat bayangan ibunya.

***

                Ada hembusan nafas lega yang keluar dari Justin saat mendapati kelopak mata gadisnya terbuka. Setidaknya, kekhawatiran itu berkurang. Jarin-jarinya yang kuat itu menggenggam jemari lentik Kristen. “Babe.” Panggilnya, berharap Kristen langsung menoleh padanya. Dan itu bekerja. Kristen memutar kepalanya ke samping, dan mendapati wajah Justin dalam pandangannya. Sontak ia terlonjak bangun, dan menarik tangannya dari genggaman Justin. Gadis itu terlihat tidak bisa menutupi rasa trauma dan takutnya terhadap Justin. Seolah-olah Justin adalah penjahat yang paling ditakutinya.
                “Hey, calm down. Kau baru saja pingsan, dear.” Justin tampak begitu berusaha lembut pada Kristen. Ia tahu apa yang terjadi. Ia tahu mengenai Kristen dan juga masalah playboynya.
                “Tidak, aku tidak apa. Biarkan aku pulang, sekarang.” Kristen bergegas turun dari bangkar, dan langsung membenahi rambutnya, memakai sepatunya buru-buru. Namun Justin langsung mencekal tangannya, menahannya untuk tidak berbuat apa-apa.
                “Dengarkan aku, Kris.” Nada suara lelaki itu serius, tidak santai seperti sebelumnya. Nada suara itu sontak membuat Kristen berhenti, dan menunduk. Ia enggan memandang mata sewarna caramel itu. Justin mengambil dagu itu, dan mengangkatnya. Menemukan mata mereka berdua, menguncinya. “Aku tidak seperti ayahmu. Aku. benar-benar mencintaimu. Aku tidak pernah bermain-main dengan perasaanku. Kau tidak perlu takut.”
                “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Kristen mengelak. Ia tidak ingin membahas ini. Ia tidak ingin traumanya semakin menyakitinya.
                “Tentu kau tahu.”
                “Tidak! Aku tidak mengerti! Bisakah kau diam dan biarkan aku pulang?!” Kristen sedang dalam keadaan labilnya. Emosinya tidak stabil. Nyatanya, gadis itu langsung membentak Justin demikian. Ia kehilangan topengnya, ia kehilangan ketenangannya.
                Justin yang ganti diam. Ini pertama kalinya Kristen membentaknya. Dan sebelum ia sempat menjawab, pintu ruang UKS itu terbuka, dan Olivia serta sahabat-sahabatnya dan sahabat-sahabat Justin muncul. “Ada apa?!”
                “Sial, Kris. Kau−“ Justin sedikit memaki dengan emosi, tanpa tedeng aling-aling ia langsung melumat bibir Kristen dengan liar. Ia marah, ia rindu, dan segalanya ada dalam Kristen. Ada dalam gadis itu. Sontak Kristen terkejut, terlambat menghindar. Tangan Justin memeluknya, mengunci pergerakannya. Namun ia tak kehabisan akal. Tangannya memukul dada Justin, meronta minta dilepaskan. Tapi sekuat apapun dia, Justin jauh lebih kuat.
                “Skali-kali kau harus mendengarkan Justin, Kris.” Mary berujar. Tidak peduli bahwa sahabatnya sedang butuh pertolongan. Ia hanya ingin Kristen sadar bahwa kebahagiaanny ada di depan mata.
                Kristen terlihat masih berusaha memberontak keras, meski Justin memeluknya erat dan mempertahankan ciumannya. Menyerah, kesal dengan keadaan dimana ia tidak bisa menghindari Justin, akhirnya gadis itu menangis. Ia tidak suka dipaksa. Dan yang diinginkannya saat ini hanyalah berada jauh dari Justin, dan pergi menenangkan diri. Dia.. ini mendesak. Ini mengehimpitnya. Dan dia tidak ingin.
                Merasa bahwa ciuman mereka jauh lebih basah dari sebelumnya, dan ada rasa asin, Justin menyadari bahwa Kristen menangis. Hal yang tak pernah ingin lelaki itu lakukan pada Kristen. Lelaki itu tahu bagaimana perasaan Kristen. Itu sebabnya ia tidak ingin membuat dirinya sebagai sebuah luka untuk Kristen. Ia berjanji, tidak akan menyakitinya. Berjanji sepenuh hati. Tapi sekarang, lelaki itu justru membuat gadis yang dicintainya menangis.
                Merasa bersalah, lelaki tampan dengan surai spike dan iris caramel itu lantas melepaskan ciumannya, melepaskan pelukannya yang erat dari Kristen, sehingga gadis itu bisa bebas. Mendapatkan kesempatan untuk lolos, Kristen tidak menyia-nyiakannya. Ia langsung berlari keluar dari ruang UKS kampusnya. Masih dengan tetap menangis.

***

                Angin musim gugur kembali berhembus. Hampir di semua ruas, jalan tertutup oleh gugurnya dauh merah yang menjari. Kristen sedang berjalan-jalan sendiri. Kejadian kemarin masih terpeta jelas di otaknya saat ia mendadak berubah panic karena Justin ada di sampingnya. Ia tidak mengerti dengan perasaannya. Ia menegaskan diri untuk tidak pernah jatuh cinta pada playboy. Tapi, bagiamana bisa ia terjatuh?
                Mungkin ketenangan adalah yang dibutuhkannya saat ini. Sendiri, tanpa pengganggu, mungkin bisa menjernihkan pikirannya. Ia hanya tak tahu, apa langkahnya ini sudah tepat, atau belum. Ia tidak tahu apa ini benar, ataukah salah. Seharusnya, tidak ada yang tersakiti dengan semua ini. Tapi… mungkin memang sepertinya salah.
                Otaknya sibuk berspekulasi. Kristen termangu, duduk di salah satu bangku taman yang ada. Sampai mendadak bangku kosong di sebelahnya terasa berat, seolah ada orang lain yang menempatinya. Kristen terkesiap, dan mendapati Corentin, sahabat Justin duduk di sebelahnya, memandang ke depan. “Sore yang dingin, ya.”
                “Mungkin akan hujan.” Kristen menyambung. Ia kembali pada objek semula yang dipandanginya. Jalan yang dikerumuni oleh orang-orang yang lalu-lalang.
                “Sebentar lagi, sepertinya.”
                “Sepertinya.”
                “Dengar. Aku tidak berusaha mencampuri masalahmu dengan Justin. Hanya ingin kau menyadari satu hal. Dia mencintaimu. Aku mengenalnya lebih dari separuh hidupku. Jadi, ya. Aku mengenalnya. Dan selama ini, dia tidak pernah terlihat begitu sedih semenjak kau menolaknya. Justin tidak pernah punya perasaan pada perempuan-perempuan yang dipacarinya. Dia menyimpan hatinya. Dan bersamamu, sepertinya dia telah membukanya. Laki-laki itu tulus mencintaimu. Dan tidak pernah ingin menyakitimu. Banyak hal di dalam Justin yang belum kau lihat. Jadi, pikirkanlah. Seorang lelaki tidak akan menunggu terlalu lama ketika ia menyadari cintanya tidak memiliki kemungkinan.”
                “…”

***

                Sepanjang malam setelah pertemuan singkatnya dengan Corentin yang entah disengaja ataupun tidak, Kristen memikirkanya. Memikirkan kata-kata sahabat Corentin tersebut. Benarkah demikian? Batinnya.
                Kristen mendesah. Ia tidak menemukan jawabannya. Ia hanya tidak ingin berakhir seperti ibunya. Dan menyerahkan hatinya pada seseorang yang dalam kenyataan adalah playboy namun katanya tidak pernah memiliki perasaan pada setiap perempuan yang dipacarinya terasa ganjil. Kristen tidak bisa semudah itu. Ini kasus yang berbeda.
                Ia tidak masalah dengan patah hati. Namun selama hidupnya, ia mengenal sosok seorang playboy. Ia diperlihatkan bagaimana seorang playboy itu. Ayahnya sendiri yang memberikannya gambaran itu. Dan hidup dengan gambaran seperti itu, membuatnya belajar banyak hal mengenai cinta dan arti sebuah hubungan. Seandainya Justin bukanlah seorang player, ia pasti akan menerimanya. Tapi untuk kasus ini? Bisakah ia berjanji untuk tidak menyakiti, menjaga cintanya, dan setia? Lelaki itu bahkan dipuja begitu banyak kaum hawa. Bisakah ia menahan dirinya untuk tidak jatuh cinta pada gadis lain selain Kristen?
                Kristen meragukannya. Bagaimanapun, Justin terbiasa hidup dengan berganti-ganti pasangan. Terbiasa hidup di kelilingi perempuan-perempuan memujanya. Terbiasa hidup dengan mendekati perempuan incarannya. Terbiasa hidup dengan menggoda yang ingin digodanya. Serasa mustahil jika pria dengan sikap seperti itu bisa berubah dalam waktu sekejap. Apalagi hanya karena satu perempuan.
                Spekulasi yang tiada henti diotaknya itu membuatnya kelelahan hingga jatuh tertidur. Gadis itu terlelap dengan membawa trauma dan segala kejadian hari ini. Semoga tidurnya tenang.
                Pagi-pagi sekali Kristen telah terbangun. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja ia terbangun dan rasa kantuknya telah hilang. Jadi, kesempatan pagi-pagi ini ia luangkan untuk berendam di dalam bathtube dengan air hangat dan aroma terapi. Gadis itu pikir, ia masih butuh menenangkan pikirannya dan mencari jawaban yang tepat.
                Kristen benar-benra ragu. Mungkingkah jika ia menerima Justin? Tapi laki-laki itu belum membuktikan kata-katanya. Kristen butuh sebuah bukti untuk bisa meyakinkan dirinya. Kenyataan dengan tindakan berbeda dengan kenyataan dalam kata-kata. Kata-kata bisa menipu. Tapi tindakan membuktikan yang sesungguhnya. Ketika bukti nyata dalam tindakan terlihat, disitulah yang sebenarnya terjadi. Asal, jangan samakan saja dengan sinetron ataupun telenovela.
                Keputusan telah ditetapkan. Kristen butuh sebuah bukti.

***

                Gadis cantik itu merasa sedikit membaik. Penampilan dan keceriannya mulai terlihat lagi setelah kemarin-kemarin suram seperti musim gugur yang sedang melanda Amerika saat ini. Ia memakai skinny jeans warna abu-abu dan boot ber-heels warna dark blue violet. Satu mantel musim gugur keluaran Channel di pakainya. Warnanya hampir senada dengan boot-nya. Hanya saja, sedikit lebih terang. Rambutnya ia gerai, sedikit terbang dimainkan angin. Semakin hari cuaca kian memburuk. Semalam saja, hujan sudah mengguyur. Dan selanjutnya mungkin akan semakin lebih berangin, hujan, dan dingin.
                Kristen memasuki gedung kampus dengan berlari-lari kecil. Gerimis telah datang pagi ini. Untung saja, gadis itu tidak terlambat datang. Ia membenahi penampilannya setelah benar-benar menutup pintu gedung kampus. Setelah merapikan tas dan rambutnya, gadis itu mulai berjalan. Ia sendiri. Entah dimana sahabat-sahabatnya sekarang. Gadis itu berniat menuju kantin untuk memesan satu cangkir susu hangat mengingat cuaca sedang seperti ini.
                Langkahnya biasa saja, dan selama perjalanan sampai di kantin, tidak ada apapun yang menarik perhatiannya, dan tidak ada peristiwa penting apapun. Namun itu berubah saat ia memasuki kantin, dan baru saja duduk dengan satu gelas susu hangat di tangannya. Di depannya, Justin and the gang beserta sahabat-sahabatnya duduk berkumpul di satu meja di depan mereka. Jujur saja, Kristen sedikit cengo. Ia tidak mengerti apa-apa. Dan sedikit merasa ketinggalan karena ia tidak bersama kelompoknya. Namun, keciutannya langsung dibuang saat kepalanya memberikannya satu pertanyaan untuk dilontarkan. “Sedang apa kalian?”
                Justin tidak tersenyum, tidak juga sedih. Ia memasang tampang biasa-biasa saja, dan berdiri dari tempat duduknya dan berpindah duduk di kursi kosong yang masih satu meja dengan meja yang Kristen tempati. “Jawab saja, okay? Kau mau jadi kekasihku? Ya atau tidak?”
                Kali ini Kristen sudha bisa menarik senyum. Karena, ya, dia sudah memiliki jawabannya. Ia tidak akan galau berat seperti kemarin. “Aku butuh bukti.”
                “Bukti apa?”
                “Bukti bahwa kau mencintaiku dan perasaanmu bukan main-main. Bahwa perasaanmu terhadapku adalah nyata. Kau tahu hidupku, bukan?”
                Justin mengangguk, lantas menarik satu seringai yang sedikit membuat Kristen terheran. Ia mengambil jemari Kristen yang menggenggam susu hangat, dan menciumnya. “Dengan senang hati.”
                Kristen tersenyum. Ia tidak sabar untuk melihat bukti itu. Justin masih tetap menggenggam tangannya, dan ia membiarkannya. Mereka berdua kini tak lagi duduk, dan Kristen telah meninggalkan susu hangatnya di atas meja. Mereka berdua berdiri sekarang, mengundang perhatin terhadap penghuni kantin saat itu. Kristen sendiri tampak bingung, tidak tahu apa yang akan diperbuat lelaki itu. Sahabat-sahabatnya hanya terlihat berusaha menyembunyikan senyumnya. “Marry me, Kristen.” Justin lantas berlutut, mengeluarkan satu kotak cincin beludru dan membukanya. Satu cincin full berlian terpampang di depan mata Kristen. Diapit oleh lapisan titianium yang diukir, membuatnya terlihat makin mewah. Kristen tak bisa menahan diri untuk tidak terkejut. Ia menutup dengan tangannya, mulutnya yang menganga. Tanpa ia sadari, seisi kantin hening. Ini seperti hal yang jarang bisa mereka lihat.
                Kristen terpana. Inikah buktinya? Menikah? Bahkan mereka masih sembilas tahun! Tapi, Kristen pikir menikah adalah sesuatu yang serius. Dan jika Justin meminangnya, maka ia serius. “Aku hanya mau menikah sekali seumur hidup.”
                “So do I. Aku tidak pernah mencintai siapapun perempuan di dunia ini selain keluargaku. Hanya kau. Andai dari dulu aku tahu bahwa aku hanya akan mencintaimu, aku tidak akan pernah menjadi seorang player dan membuatmu takut terhadapku.”
                “Jawab saja, Kris! Kau tidak bisa membiarkan Justin berlutut lebih lama lagi.” Niall memecah keheningan. Berteriak menyadarkan keadaan mereka.
                Kristen menghembuskan nafas nerveous-nya. “Yeah.” Seisi kantin sontak bersorak, suara tepukan dan siulan menggema langsung. Suasana langsung berubah meriah, diisi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Justin merekahkan senyumnya dengan begitu bahagia dan menyematkan cincin yang ia design sendiri pada pembuat cincin di salah satu toko perhiasan terbaik ke jari manis Kristen. Ia lantas memeluk gadisnya dengan erat. Sekarang Kristen telah menjadi gadisnya. Tidak ada yang bisa membuatnya lebih bahagia dibanding ini.
                Suara siulan keras terdengar. Justin yang baru saja bersiul. Lantas Cody, yang pagi itu entah mengapa terlihat begitu formal dengan jas dan dasi melangkah mendekati mereka. Seolah ini semua telah dipersiapkan sebelumnya. Kini Cody berdiri menghadap mereka berdua dan terdiam. Ia hanya menggerakkan tangannya tanda mempersilahkan. Justin lantas mengambil kedua tangan Kristen, dan terdiam sejenak memerhatikan jari-jari lentik itu. Satu detik menatap cincin yang sudah melingkar di jari Kristen –Justin masih tidak percaya Kristen menerimanya. Ia terharu.− kepalanya terangkat, menatap Kristen lembut dan tersenyum. “Aku mencintaimu, dan berjanji selalu setia padamu. Menjadikanmu satu-satunya wanita dalam hidupku, dan tidak memberikan tempat bagi siapapun selain dirimu. Aku mencintaimu, dan tidak akan pernah berubah menjadi seorang yang kau takuti. Berjanji setia dan menjagamu. Akan selalu mempertahankanmu, meski dunia tidak memihakku. Aku, Justin Bieber menjadikanmu istriku yang sah dan satu-satunya. Menjadikanmu tempatku berbagi dalam segala hal. Baik suka maupun duka. Baik sehat maupun sakit. Baik kaya maupun miskin. Dan selamanya akan tetap begitu.”
                Kristen terhenyak sesaat. Mereka… menikah sekarang juga, eh? “Aku… −“ Kristen menghembuskan nafasnya. Ia gugup. Ia tidak menyangka akan mengucapkan janjinya sekarang. Ia bahkan belum mempelajari kalimat sacral itu. Hanya menontonnya saja di dalam televisi. Tapi, baiklah. Dia akan berusaha sebisanya. “Aku Kristen Fletcher, mencintaimu, dan seterusnya seperti itu. Aku menjadikanmu suamiku yang sah dan satu-satunya. Menjadikanmu yang pertama dan yang terakhir. Menjadikanmu sebagai rumahku. Tempatku dalam segala hal. Dalam semuanya. Aku mencintaimu, dan maaf mengenai kejadian beberapa waktu lalu.”
                Terdengar aneh. Tapi… “Dengan ini, kunyatakan kalian sebagai sepasang suami-istri.” Cody tersenyum, menyentuh tangan mereka berdua, mengesahkan mereka. Tepukan tangan yang meriah kembali terdengar. Dan mereka berciuman. Dengan lembut, penuh cinta, dan kerinduan. Moment ini sekarang sudah membayar lunas, kegalauan mereka di waktu kemarin.
                Kristen lantas melepas ciuman mereka, menyadari satu hal. “Aku tidak memiliki cincinnya. Cincin untukmu.”
                Dan Justin hanya tertawa lepas. “Aku sudah memakainya.” Ia mengangkat tangannya, menunjukkan jemari manisnya yang sudah terlingkar oleh cincin yang sama seperti yang ia sematkan pada jari Kristen.
                “Eh?”
                “Aku optimis kau tak akan menolakku.” Lelaki itu lantas nyengir, membuat Kristen terkekeh. Justin menggemaskan. Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu? Dan rasanya aneh. Bahwa mereka menikah di kantin, dan bukan di gereja. Bukan dengan gaun, namun dengan pakaian musim gugur. Tapi, bukankah cinta tidak memerlukan keindahan itu semua? Cukup cincin yang mewakilkan tanda kemegahan itu.
                Last, but not least, they’re married now. There’s no Kristen Fletcher, but Kristen Bieber. It sounds better.

Komentar

Postingan Populer