Just a Friend to You (1)


🌼🌼🌼

All I want is nothing to more.. To hear you knocking at my door..
Cause if I could see your face one more..
I could die happy man I'm sure..

When you say your last goodbye.. I die a little bit inside..
I lay tears in bed all night..
Alone without you by my side..

Aku bersandar pada pintu kelas disaat lelaki berambut spike itu tengah memetik gitarnya sambil menyanyikan sebuah lagu kesukaannya. Sebenarnya tadi aku ingin masuk ke dalam, mengambil ponsel ku yang tertinggal di laci sekolah. Tapi, ketika aku melihat dan mendengar nyanyiannya, aku mengurungkan niatku dan akhirnya aku memandanginya.

Tiba-tiba lamunanku yang mengagumi suaranya terbuyar karena sebuah suara membuatku langsung mengerjap.

"Awas matanya keluar, mbak." dia meledekku dibarengi tawa khasnya. Aku langsung salah tingkah namun aku tak mau ketahuan. Aku membuang muka dan langsung beranjak masuk ke dalam kelas.

Sialan. Aku selalu kehilangan diriku disaat matanya yang tajam melihatku seperti itu. Aku memilih mengabaikan pandangannya, acuh tak acuh, aku mengambil ponselku dan berniat keluar kelas kembali.

Namun, dia langsung melompat dari bangku, menghadang jalanku dengan gitarnya. "Mau kemana?"

"Ke kantin."

"Beliin minum, ya. Haus nih,"

Aku mendecak kesal namun aku tak bisa menolaknya. "Hm. Minggir!"

Dia tersenyum, menampilkan lesung pipi di sebelah kirinya. Sesaat, aku terpesona namun aku langsung menepis pikiranku tentangnya. Lalu dia menggeser badannya, membiarkan ku lewat dari hadapannya.

Lelaki tinggi itu bernama Kim Hanbin. Aku mengenalnya dua tahun lalu. Disaat aku berpacaran dengan sepupunya -June- ketika aku SMP beranjak SMA. June mengenalkan aku padanya. Sesaat aku berpikir, lelaki itu menyebalkan. Tidak sampai 24 jam aku mengenalnya, dia sudah melontarkan kata-kata tak pantas untukku.

Dan sialnya, kami ternyata berada di SMA yang sama, dia juga menjadi teman semejaku selama satu semester penuh. Dan lebih sialnya lagi, dia mendapat kelas yang sama dengan ku selama 3 tahun penuh!

Dan aku selalu merasa jengkel. Dia selalu menggangguku, mengolok-ngolokku, meledekku, atau bahkan menggodaku sehingga membuat June marah melihat aku sangat dekat dengannya. Dan akhirnya, kami putus.

Keterlaluan.

Oke, aku mengakui Hanbin tampan. Sangat tampan malah. Dia memiliki tubuh yang tegap. Apalagi, lesung pipi kiri yang membuat pesonanya semakin bertambah. Pribadinya selalu ceria. Namun, dia bisa dingin dalam sekejap, ketika dia tidak suka dengan suatu hal. Dia bodoh di pelajaran sekolah, namun terlalu pintar untuk pengetahuan umum. Dia punya suara yang bagus, aku selalu mendengarnya bernyanyi ketika dia sedang teringat sesuatu. Dia bisa memetik gitar menghasilkan melodi yang lembut.

Ya ampun, selama hampir tiga tahun aku mengenalnya, aku sudah terlalu banyak tahu tentangnya. Aku tahu makanan kesukaannya, minuman kesukaannya, musik, warna, buku, pelajaran, benda, sepatu kesukaannya. Bahkan, aku mengetahui nama orangtuanya. Padahal nama orangtua adalah hal sensitif untuk diumbar-umbar pada orang lain disini.

Aku mengenalnya luar dalam.

Tapi satu hal yang aku benci darinya.

Aku mencintai lelaki itu.

Ku pikir aku sudah gila. Aku menjilat ludahku sendiri pada akhirnya. Dulu, aku berkata pada June, selamanya aku tak akan pernah mencintai sepupunya, dan kini aku melanggarnya.

Jangan salahkan aku. Salahkan cinta karena dia selalu datang tiba-tiba, dimanapun, kapanpun, dan tidak membawa alasan.

Aku juga baru menyadarinya ketika aku putus dengan June. Hanbin selalu menghiburku disaat aku sedih karena putusnya hubungan kami. Padahal, aku sendiri yang memutuskan June. Bodoh memang.

Tanpa ku sadari, perasaan ku pada Hanbin bertumbuh. Awalnya, aku mengira ini hanya rasa kagum padanya, namun aku salah.

Aku cemburu melihat dia bersama perempuan. Ya walaupun dia tak pernah berpacaran sebelumnya, tapi aku tak suka melihatnya bersama, berdekatan, berbicara dengan perempuan lain. Ya, aku memang egois. Bahkan aku mendeklarasikan pada diriku sendiri bahwa hanya akulah yang bisa menyentuh, berbicara, berdekatan dengan Hanbin.

Kami bersahabat. Sangat dekat.

Sampai orang mengira aku dan dia berpacaran. Sampai aku dirumorkan memacari sepupu mantan sendiri. Sampai orang selalu menjodohkan kami dimana-mana.

Andai saja aku bisa memacari dia. Aku adalah perempuan paling beruntung yang bisa mendapat hatinya.

Hanbin belum pernah berpacaran sampai saat ini. Dia selalu memintaku mencarikannya cewek yang tepat, namun aku selalu membohonginya, dengan mengatakan "Nggak ada yang mau sama lo!"

Katakanlah aku jahat. Tapi sekali lagi, aku hanya tak mau kehilangan dia.

Aku tahu dia mencintai perempuan itu. Dia mencintai Lisa, teman SMP nya, dan juga teman ku di kelas sebelah. Sudah 4 tahun dia mencintai gadis itu, namun sampai saat ini Hanbin belum mengatakan perasaannya pada gadis itu.

Dasar, Hanbin idiot!

Tapi baguslah. Aku masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hatinya. Aku hanya perlu berjuang bukan?

🌼🌼🌼

Malam ini adalah malam minggu. Seperti biasa, Hanbin selalu menjemputku dan kami akan pergi mengunjungi rumah Bobby, teman kami. Bobby anak kelas sebelah, namun itu tak membuat persahabatan kami renggang.

Di rumah Bobby, sudah ada teman kami yang lain. Ada Jinan, Chanu, dan Jisoo. Tak ada dari kami yang berada di kelas yang sama, hanya aku dan Hanbin. Aku dan lainnya sedekat ini karena mereka adalah teman-temanku sewaktu di kelas 11.

Karena kami merasa bosan, hanya duduk sambil mendengarkan bualan ala Bobby, kami sepakat keluar namun berjalan kaki. Karena kata Jinan, kalau naik kendaraan, kita akan terpisah.

Kami berjalan ke depan kompleks. Kami membeli berbagai snack dan memakannya di jalan. Kami saling berebut, menertawai hal apa saja, dan berbagi kisah.

"Eh, eh, tadi di SCTV film Magic Hour tayang, pada nonton nggak?" celetuk Jisoo ketika kami masih berjalan.

"Ah, gue udah nonton di bioskop dari lama kalo itu mah," jawab Bobby. Walaupun dia berbicara seperti itu, taruhan, tak akan ada yang percaya pada si gigi kelinci itu.

"Gue tadi nonton, gila, sedih gue, padahal filmnya udah pernah gue tonton dulu," sahutku.

"Gue juga nonton. Iseng doang, ternyata enak juga, jir. Hahaha, kasian banget sahabatnya itu ditolak," Hanbin menimpali membuat gue langsung menoleh.

"Lo nonton begituan? Kerasukan?" tuding gue langsung. Soalnya, Hanbin tak pernah menonton film Indonesia. Heran.

"Enggak, sumpah. Gue kasihan sama si cowok yang jadi sahabatnya itu, apalagi si cewek pas dia ngomong 'Kenapa aku nggak mau merubah status kita jadi pacaran? Karna-"

"Karna pada suatu saat nanti ada seseorang yang membuat aku patah hati, dan aku butuh kamu untuk memelukku." aku dan Hanbin mengucapkan kutipan film itu bersama.

Langkah kami berhenti, membiarkan yang lainnya berjalan duluan. Kami saling menoleh dan memandang satu sama lain. Hanbin tersenyum. Aku bingung, tak bisa mengartikan apa dibalik senyuman itu.

Aku tak tahu kalau Hanbin menyukai dan mengutip kata-kata kesukaanku dari film itu juga. Aku mengutipnya karena itu sangat cocok untukku. Dan tahu-tahunya, Hanbin juga mengutipnya. Apakah ini yang namanya jodoh? Ah, tidak mungkin.

Lalu dia mengacak rambutku gemas. "Nah, gitu. Nggak ada sahabat yang bisa jadi pacar," katanya membuat jantungku mendadak berhenti.

Seperti ada bom yang meledak, aku ingin mati saat ini. Lututku melemas. Kata-kata Hanbin menusuk ulu hatiku begitu saja.

Kenapa, Bin?

"Memang, hahahaha, karena pacar bisa ninggalin lo kapan aja, dan sahabat ada di samping lo selamanya," jawab gue dengan sisa kekuatan yang ada. Sebenarnya aku ingin menangis, namun aku malu. Aku tak mau kalau Hanbin tahu aku mencintainya.

Selama dia masih jadi sahabatku, semua akan baik-baik saja.

"Pinjem hp dong," aku mengadahkan tanganku padanya dan kami berjalan lagi. Hanbin memberi ponselnya padaku, dan aku langsung membuka password yang sudah ku hapal luar kepala--karena aku lah yang membuat password itu.

Aku membuka akun instagramku yang melekat di hp nya. Aku tak pernah mengeluarkan akunku, karena akunnya juga ada di hp ku. Aku berniat membuat snapgram malam ini. Memamerkan pada orang-orang terlebih kaum pecinta Hanbin, kalau aku sedang bersama dia saat ini.

"Bin, Bin, liat layarnya Bin," suruhku sambil mengangkat ponsel Hanbin. Hanbin melihat layar dan tersenyum.

Ck, Hanbin! Jangan pamerin senyumnya!

Aku meninju lengan Hanbin kuat. "Gak usah senyum lo, jelek." ejek ku memutarbalikkan fakta. Padahal senyumnya adalah anugrah terindah yang bisa ku lihat sekarang.

Hanbin mengambil alih ponselnya dan ber-snapgram ria di instagramku. Sial! Dia menyanyi!

"All I want if this is my last time with you... Hold me like I'm more than just a friend.. Give me the memories I can use.. Take me by the hand.. --Yah, kok abis," Hanbin langsung merutuk ketika waktu untuk membuat video habis.

Dadaku terasa sesak ketika Hanbin menyanyikan lagu itu. Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana jika Hanbin tak di samping ku lagi? Bagaimana kalau dia mempunyai pacar? Bagaimana kalau Hanbin pergi jauh dari ku?

Hanbin menyerahkan ponsel itu lagi padaku. "Udah gue masukin noh, jangan diapus ya, biar orang-orang yang dengar suara merdu gue kejang-kejang,"

"Yee, kepedean. Yang ada mereka muntah-muntah," ejekku lagi. Kapan sih aku bisa berkata yang sejujurnya?

Hanbin cemberut seperti anak kecil. "Lo mah ngejek gue mulu, ga asik. Sekali-kali puji dong,"

"Najis!" gue mendengus geli dan tertawa.

Angin malam bertiup pelan menyentuh wajahku. Malam ini cukup dingin, namun hatiku menghangat karena aku bersama si bodoh ini.

"Kedinginan gak lo?" tanya Hanbin ketika aku memeluk diriku sendiri. Aku menggeleng. Aku tidak kedinginan. Kehadiranmu membuat ku menghangat, Bin.

Namun Hanbin sangat baik. Dia membuka jaket hitamnya, dan menyampirkan di atas kepalaku. "Pake gih, ntar lo masuk angin, berabe,"

Aku mengambil jaket itu dan memakainya. Hmm.. Aku menikmati wangi parfum khasnya. Sangat maskulin, membuat ku terbuai beberapa saat.

"Wangiii," kataku sambil mengeratkan jaketnya di badanku.

"Iyalah, kapan sih gue bau, hahaha," dia tertawa lagi. "Ayo, cepetan. Bobby udah ninggalin kita tuh,"

Kadang aku berpikir, apakah dia mencintai ku juga atau aku saja yang terlalu percaya diri?

🌼🌼🌼

Malam itu aku memutuskan menginap di rumah Bobby. Aku sudah meminta izin pada orangtuaku. Aku memang sering menginap di rumah teman-temanku. Terlebih karena ada Jisoo, teman perempuan yang sama nakalnya denganku.

Tempat menginap kami pun selalu berganti-ganti. Kadang di rumahku, di rumah Hanbin, di rumah Jisoo, namun yang paling sering rumah Bobby. Selain nyaman, di rumah Bobby juga selalu tersedia makanan yang bisa mengisi perut kami kalau sedang lapar.

Chanu dan Jinan pulang karena besok mereka akan gereja bersama orangtuanya. Sementara Aku, Hanbin, Bobby dan Jisoo memutuskan gereja sore bersama saja untuk besok. Karena demi apapun, kami tidak bisa bangun pagi.

Orangtua Bobby juga tak mempermasalahkan kami untuk menginap. Bahkan beliau selalu menyuruh untuk menginap saja, daripada pulang malam karena banyak tindakan kriminal yang terjadi malam-malam begini.

Jadi selepas Chanu dan Jinan pulang tadi, kami memutuskan menonton film. Bukannya menonton, Bobby sudah tepar sementara Jisoo selalu jeli menatap layar ponselnya, apalagi karena ponselnya tersambung pada wifi rumah Bobby.

Hanbin juga tidak menonton, dia juga sama seperti Jisoo, melihat-lihat feeds instagram orang. Sesekali aku melirik, dan ternyata dia menge-stalk akun itu lagi. Siapa lagi kalau bukan Lisa?

Aku menghela nafas. Aku selalu berada di sebelahnya, kapan dia bisa melihatku? Kapan dia bisa menyadariku?

"Gue matiin ya tv nya, lo semua kaya tai, katanya tadi mau nonton!" decak ku kesal sambil membuka selimut yang membungkus badanku.

"Yaudah, lagian berisik njir nonton pagi-pagi gini. Udah ah, gue mau tidur aja, capek mata gue mantengin hp mulu," sahut Jisoo mematikan layar ponselnya. Lalu dia menggeser kaki Bobby agar dia bisa tidur di sebelahnya.

"Bob! Bob! Minggir jing, lo tidur di atas kampret," kata Jisoo namun sialnya Bobby kalau sudah tidur, tak akan ada yang bisa membangunkannya. Bahkan kalau sangkakala sudah dibunyikan, taruhan, cowok itu masih akan tidur dan tak mau tahu apa yang terjadi.

Tempat tidur hanya satu, dan kita seperti ikan yang siap untuk dikemas dalam kaleng sekarang. Bobby yang berada di tengah membuat Jisoo menghela nafas ketika memindahkan badan Bobby agar memberi ruang untuk tempatnya tidur.

Kami tak masalah tidur bersama. Lagipula kami sudah sering seperti ini. Kami seperti keluarga. Tak ada kata jaim di dalam kamus kami.

Jisoo pun akhirnya dapat tidur di sebelah kiri Bobby. Sementara Hanbin berada di sebelah kanan Bobby, dan aku berada di sebelah Hanbin.

Karena Jisoo sudah tidur, akhirnya Aku menidurkan kepalaku di bantal sebelah Hanbin. Dia masih asik melihat-lihat foto gadis itu.

"Cieee," ucapku. Aku berusaha biasa saja namun aku menyiratkan hal lain dari kata itu. Cie which means Cause I'm Envy.

Hanbin terkekeh pelan. "Apasih, haha," dia merona malu. Kapan aku bisa menjadi alasan Hanbin untuk merona juga?

Aku ikut melihat foto Lisa. Cewek itu cantik. Cantik sekali. Dia juga kalem dan tidak sepertiku yang galak. Aku tak heran kenapa Hanbin tergila-gila padanya dari kelas 2 SMP.

"Cantik banget gak sih dia?" tanya Hanbin. Dadaku sesak lagi.

Aku mengangguk menyetujui. Dia memang cantik, Bin.

"Kenapa lo nggak nembak dia aja sih, Bin?" tanya ku berusaha tetap tegar. Mungkin ini keseribu kalinya aku bertanya seperti ini.

"Ah, nggak berani gue," katanya. Lagi-lagi jawaban yang sama membuatku muak.

"Ya jadi kapan lo bisa miliki dia kalo lo nya aja nggak berani nembak?" desak ku.

"Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai...," jawab Hanbin mengambil lirik lagu band Ungu, Cinta Dalam Hati.

Aku terkekeh mendengarnya. "Najis, Bin." seharusnya aku yang mengatakan itu padanya.

"Gombal sana sini, ngebaperin anak orang sana sini, eh, disuruh nembak cewek, ciut. Ngajak dia ngomong aja lo nggak berani, cemen banget sih," ledek ku lagi. Aku cemburu. Hanbin memperlakukan Lisa sangat berbeda. Bahkan, berbicara dengan Lisa saja bisa dihitung berapa kali.

Walaupun Hanbin selalu bersikap manis padaku, menggodaku selalu, memainkan dan mengacak rambutku, mencubiti pipiku, menarik hidungku, merangkul dan memelukku, bahkan kami tidur bersama, aku tak merasa spesial.

Walaupun Hanbin selalu berkata, "Gimana kalo lo yang jadi istri gue nanti?"

Atau, "Kalo gue jadi suami lo, jadi istri yang baik ya,"

Atau menyapaku dengan, "Hai masa depanku."

Atau menggodaku kalau aku marah, "Jangan marah dong, sayang,"

Aku sama sekali tak merasa spesial.

Karena semua perlakukan Hanbin padaku hanyalah sebatas sahabat. Tidak lebih.

Aku tahu Hanbin seperti apa. Dia tak berani berbicara pada gadis yang disukainya, tak berani menggodanya, tak berani menyentuhnya, bahkan Hanbin tak mau memikirkan hal aneh-aneh tentang gadis itu.

Lisa sangat beruntung karena Hanbin mencintainya.

"Lo udah move on dari June nggak?" tanya Hanbin tiba-tiba. Aku menoleh padanya. Wajahku sangat dekat dengannya, dan kami memakai bantal yang sama.

Jantungku berpacu. Jangan sekarang, ku mohon. "U-udah lama kali," jawabku. Entahlah, aku juga tidak tahu apa aku telah melupakan mantanku itu. Terkadang aku masih memikirkan June.

"Jomblo yak,"

"Lo juga, jing," balasku sambil mencebikkan bibir. Aku memutar badanku, menghadap dinding dan membelakangi Hanbin.

"Bin, gue mau tidur. Besok kalo lo bangun duluan, bangunin gue ya," kataku sebelum menarik selimutku kembali.

"Iya, santai aja yang, hehe," lagi-lagi Hanbin memanggilku seperti itu. Apakah salah jika aku terbawa perasaan?

Sebenarnya aku tak ingin tidur. Aku ingin berbicara lebih banyak lagi padanya. Namun aku tak bisa. Di jarak yang sangat dekat seperti ini, aku harus mengontrol diriku. Aku harus terlihat biasa saja di depannya. Aku tak mau ketahuan kalau aku mencintainya.

Aku berusaha memejamkan mataku namun tak bisa. Aku tak bisa bergerak karena Hanbin berada di sebelahku. Aku berpikir ini gila. Aku hanya bersahabat dengannya dan kami sering kali tidur bersama seperti ini. Bukankah ini sudah diluar batas?

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku dipeluk dari belakang. Sial!

Hanbin memelukku dan meletakkan tangannya di perutku. Oh, Tuhan. Sampai kapan Kau menyiksaku seperti ini?

Mungkin bagi Hanbin pelukan seperti ini tak ada artinya, namun buatku pelukan ini sangat berarti dan memberiku harapan lagi-lagi. Semua perlakuan Hanbin padaku membuatku berharap tinggi.

Hanbin hanya berani memelukku. Dia juga berani merangkulku. Dia menggodaku dengan seluruh kata-kata manisnya padaku. Dan sampai saat ini, hanya aku perempuan yang sedekat ini padanya.

Walaupun Jisoo selalu bersama kami, Hanbin tak pernah memeluknya. Hanbin hanya pernah merangkul Jisoo, itupun ketika kami berfoto bersama. Hanbin tak pernah menggoda Jisoo, bahkan Hanbin tak pernah tidur dengan Jisoo. Akulah perempuan yang selalu tidur di sebelahnya.

Kadang aku berpikir, siapa aku dimata Hanbin? Kenapa hanya padaku dia bisa bersikap seperti itu?

Adakah secercah harapan? Adakah tempat di hatimu yang bisa ku tempati?

Aku merasakan air mataku jatuh menetes pada bantal. Aku menangis dalam diam. Badanku menghangat karena Hanbin mengeratkan pelukannya.

Hanbin meletakkan kepalanya di ceruk leherku. Nafasnya bisa kurasakan menyentuh telingaku. Aku mengigit bibirku agar suara tangisku tidak kedengaran. Kenapa Hanbin memperlakukanku seperti ini?

Apa aku ini baginya?

Apa arti diriku untuknya?

Hanbin, tolong jangan menyiksa hatiku terus-menerus.

"Bin," panggilku pelan. Aku masih menghadap dinding, tak berani berbalik. Lagipula, Hanbin masih memelukku. Aku ingin memastikan, apakah dia sudah tidur atau belum.

"Hmm," dia bergumam memberi jawaban. Ternyata dia masih bangun.

Aku memang terbiasa dipeluknya seperti ini, namun dia selalu melakukannya ketika tak ada orang yang melihat kami. Dia selalu diam-diam. Bahkan ketika sekolah kami mengadakan camping, Hanbin mencium pipiku di bus. Dan lebih parahnya lagi, dia merebut ciuman keduaku ketika aku mengejek-ngejek namanya.

Itukah yang dinamakan sahabat?

Aku tak mengerti kenapa dia bersikap seperti itu padaku. Dia mencintai Lisa, tapi kenapa dia melakukan hal seperti ini padaku?

Aku selalu menutupi itu. Setiap orang bertanya ada hubungan apa aku dengan Hanbin, aku selalu menjawab hanya sebatas sahabat. Padahal kami sudah terlalu jauh melakukan hal yang tidak biasa dilakukan dalam persahabatan.

"Belum tidur?" tanya gue.

"Nggak bisa tidur,"

Aku menghela nafas. Pelukan Hanbin semakin erat dan Aku semakin tak nyaman. Ini salah. Hanbin tak bisa melakukan ini terus-menerus padaku. Aku tak bisa tidur dengannya. Aku hanya sahabat, bukan istrinya.

"Bin, lepas," aku menyuruhnya melepas tangannya yang melingkar di perutku. "Ini salah,"

"Apa yang salah?" dasar idiot! Dia memang tak punya otak. Kenapa masih bertanya?

"Jangan peluk gue, Bin."

"Kenapa?"

Aku mengigit bibirku lagi sampai aku merasakan asin. Ternyata bibirku berdarah. Ditambah air mata yang mengalir membasahi bantalku saat ini.

"Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kalau Jisoo, atau Bobby tau-"

"Mereka nggak akan tau," Hanbin memotong ucapanku. Kenapa kami seolah melakukan hubungan terlarang? Kenapa kami seperti menutup-nutupi sesuatu? Apasih maksudnya? Aku sama sekali tak mengerti apa maunya.

"Bin," desak ku lagi.

"Gue cuma mau meluk lo, nggak lebih. Tolong, jangan lepasin. Biarin kayak gini,"

Aku menangis lagi. Aku memandangi dinding di depanku. Tak ada yang bisa ku rasakan selain pelukan Hanbin yang semakin menghangat dibadanku.

"Kenapa lo cuma mau meluk gue, Bin? Kenapa lo nggak pernah meluk cewek lain?" tanya ku pada akhirnya.

Aku menanyakannya. Sial. Dimana otakku?

Kemudian kami hening. Hanbin tak menjawab pertanyaan ku lagi. Biarpun aku tak berbalik, aku tahu dia pasti masih bangun.

"Kenapa, Bin?" ulangku sekali lagi.

Hanbin menghela nafasnya dan mengenai leherku. "Karena lo sahabat gue,"

Aku mengigit bibirku lagi menahan tangis agar tak pecah. Alasan klise macam apa itu?

"Jisoo juga sahabat lo, Bin. Bukan cuma gue," ucap ku pelan.

Hanbin tak membalas lagi. Yang ku dengar saat ini hanya hembusan nafas yang menyentuh leherku. Hanbin sudah tidur.

Aku mengusap mataku agar air mata ku berhenti. Cukup. Tak ada gunanya aku menangis.

Aku sudah rela. Apapun alasan Hanbin dibalik pertanyaanku tadi, aku tak mau mendengar jawabannya lagi. Biarlah seperti ini.

Kalau aku bisa sedekat ini dengannya sebagai sahabat, aku tak apa. Aku ikhlas Hanbin bersama orang lain yang bukan aku nantinya. Karena tempatku hanya berada di sebelahnya, memeluknya jika ada orang yang mematahkan hatinya.

Aku selalu berada disini.

🌼🌼🌼



Komentar

Postingan Populer